A. Dasar – Dasar Filsafat
Baiklah sekarang kita lihat dasar-dasar filsafah
keilmuan terkait dalam arti dasar ontologis, dasar epistemologis, dan aksiologis,
dan dasar antropolgis ilmu pendidikan.
1.
Dasar ontologis ilmu
pendidikan
Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar
ontologis dari ilmu pendidikan. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan
ilmu pendidikan melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia
secara empiris. Objek materil ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia
yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia
dalam situasi pendidikan atau diharapokan melampaui manusia sebagai makhluk
sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik
(good citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya).
Agar pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Didalam situiasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapipada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribai pula, terlpas dari factor umum, jenis kelamin ataupun pembawaanya. Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh demikian makaa menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas factor hubungan serta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan egitu pendidikan hanya akan terjadi secar kuantitatif sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil THB summatif, NEM atau pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi jadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.
Agar pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Didalam situiasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapipada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribai pula, terlpas dari factor umum, jenis kelamin ataupun pembawaanya. Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh demikian makaa menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas factor hubungan serta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan egitu pendidikan hanya akan terjadi secar kuantitatif sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil THB summatif, NEM atau pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi jadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.
2. Dasar epistemologis ilmu pendidikan
Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau
pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan
bertanggung jawab. Sekalaipun pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat
dilakukan oleh tenaga pemula namuntelaah atas objek formil ilmu pendidikan
memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin stui empirik dengan
studi kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitaatif,
artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data
secara pasca positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan
oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan
objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hnya pemahaman dan pengertian
(verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan unuk mencapai kearifan
(kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomen pendidikan maka vaaliditas internal
harus dijaga betul dalm berbagai bentuk penlitian dan penyelidikan seperti
penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan
penelitian ex post facto. Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat
ditentukan bahaawa dalam menjelaskaan objek formaalnya, telaah ilmu pendidikan
tidaak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori
dan ilmu pendidikan sebgaai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau
problematika sendiri sekalipun tidak dapat hnya menggunkaan pendekatan
kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan
demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi,
secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall
&Buchler,1942).
3.
Dasar aksiologis ilmu
pendidikan
Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai
ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang
sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara
beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai
ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk
menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek mmelalui kontrol
terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam
pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya
terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas
pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan
pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix
(1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan
bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh
pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu prilaku. Lebih-lebih
di Indonesia.
Implikasinya ialah bahwa ilmupendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi satu-sayunyaa metode ilmiah (Kalr Perason,1990).
Implikasinya ialah bahwa ilmupendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi satu-sayunyaa metode ilmiah (Kalr Perason,1990).
4. Dasar antropologis ilmu pendidikan
Pendidikan yang intinya mendidik dan mengajar ialah
pertemuan antara pendidik sebagai subjek dan peserta didik sebagai subjek pula
dimana terjadi pemberian bantuan kepada pihak yang belakangan dalaam upaayanya
belajr mencapai kemandirian dalam batas-batas yang diberikan oleh dunia
disekitarnya. Atas dasar pandangan filsafah yang bersifat dialogis ini maka 3
dasar antropologis berlaku universal tidak hanya (1) sosialitas dan (2)
individualitas, melainkan juga (3) moralitas. Kiranya khusus untuk Indonesia
apabila dunia pendidikan nasional didasarkan atas kebudayaan nasional yang
menjadi konteks dari sistem pengajaran nasional disekolah, tentu akan
diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu (4) religiusitas, yaaitu
pendidik dalam situasi pendidikan sekurangkurangnya secara mikro berhamba
kepada kepentingan terdidik sebagai bagian dari pengabdian lebih besar kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Uraian di atas mengisyaratkan terhadap dasar-dasar pendidikan bahwa praktek pendidikan sebagai ilmu yang sekedar rangkaian fakta empiris dan eksperimental akan tidak lengkap dan tidak memadai. Fakta pendidikan sebagai gejala sosial tentu sebatas sosialisasi dan itu sering beraspirasi daya serap kognitif dibawah 100 % (bahkan 60 %). Sedangkan pendidikan nilai-nilai akan menuntut siswa menyerap dan meresapi penghayatan 100 % melampaui tujuan-tujuan sosialisasi, mencapai internaliasasi (mikro) dan hendaknya juga enkulturasi (makro). Itulah perbedaan esensial antara pendidikan (yang menjalin aspek kognitif dengan aspek afektif) dan kegiatan mengajar yang paling-paling menjalin aspek kognitif dan psikomotor. Dalam praktek evaluasinya kegiatan pengajaran sering terbatas targetnya pada aspek kognitif. Itu sebabnya diperlukan perbedaan ruang lingkup dalam teori antara pengajaran dengan mengajar dan mendidik.
Adapun ketercapaian untuk daya serap internal mencapai
100 % diperlukn tolong menolong antara sesama manusia. Dalam hal ini tidak ada
orang yang selalu sempurna melainkan bisa terjadi kemerosotan yang harus
diimbangi dengan penyegaran dan kontrol sosial. Itulh segi interdependensi
manusia dalam fenomena pendidikan yang memerlukan kontrol sosial apabila hendak
mencegah penurunan pengamalan nlai dan norma dibawah 100%.
1.
Pedagogik sebagai ilmu murni menelaah fenomena pendidikan
Jelaslah bahwa telaah lengkap atas tindakan manusia
dalam fenomena pendidikan melampaui kawasan ilmiah dan memerlukan analisis yang
mandiri atas data pedagogic (pendidikan anak) dan data andragogi (Pendidikan
orang dewasa). Adapun data itu mencakup fakta (das sein) dan nilai (das sollen)
serta jalinan antara keduanya. Data factual tidak berasal dari ilmu lain tetapi
dari objek yang dihadapi (fenomena) yang ditelaah Ilmuwan itu (pedagogi dan
andragogi) secara empiris. Begitu pula data nilai (yang normative) tidak
berasal dari filsafat tertentu melainkan dari pengalaman atas manusia secara
hakiki. Itu sebabnya pedagogi dan andragogi memerlukan jalinan antara telaah
ilmiah dan telaah filsafah. Tetapi tidak berarti bahwa filsafat menjadi ilmu
dasar karena ilmu pendidikan tidak menganut aliran atau suatu filsafat
tertentu.
Sebaliknya ilmu pendidikan khususnya pedagogic
(teoritis) adalah ilmu yang menyusun teori dan konsep yang praktis serta
positif sebab setiap pendidik tidak boleh ragu-ragu atau menyerah kepada
keragu-raguan prinsipil. Hal ini serupa dengan ilmu praktis lainnya yang mikro
dan makro. Seperti kedokteran, ekonomi, politik dan hukum. Oleh karena itu
pedagogic (dan telaah pendidikan mikro) serta pedagogic praktis dan andragogi
(dan telaah pendidikan makro) bukanlah filsafat pendidikan yang terbatas
menggunakan atau menerapkan telaah aliran filsafat normative yang bersumber
dari filsafat tertentu. Yang lebih diperlukan ialah penerapan metode filsafah
yang radikal dalam menelaah hakikat peserta didik sebagai manusia seutuhnya.
Implikasinya jelas bahwa batang tubuh (body of
knowledge) ilmu pendidikan haruslah sekurang-kurangnya secara mikro mencakup:
-Relasi sesama
manusia sebagai pendidik dengan terdidik (person to person relationship)
-Pentingnya
ilmu pendidikan memepergunakan metode fenomenologi secara kualitatif.
-Orang dewasa
yang berpran sebagai pendidik (educator)
-Keberadaan anak manusia sebagai terdidik (learner,
student)
-Tujaun pendidikan (educational aims and objectives)
-Tindakan dan proses pendidikan (educative process),
dan
-Lingkungan dan lembaga pendidikan (educational
institution)
Itulah lingkup pendidikan yang mikroskopis sebagai
hasil telaah ilmu murni ilmu pendidikan dalam arti pedagogic (teoritis dan
sistematis). Mengingat pendidikan juga dilakukan dalam arti luas dan makroskopis
di berbagai lembaga pendidikan formal dan non-formal, tentu petugas tenaga
pendidik di lapangan memerlukan masukan yang berlaku umum berupa rencana
pelajaran atau konsep program kurikulum untuk lembaga yang sejenis. Oleh karena
itu selain pedagogic praktis yang menelaah ragam pendidikan diberbagai
lingkungan dan lembaga formal, informal dan non-formal (pendidikan luar sekolah
dalam arti terbatas, dengan begitu, batang tubuh diatas tadi diperlukn
lingkupnnya sehingga meliputi:
-Konteks sosial budaya (socio cultural contexs and
education)
-Filsafat pendidikan (preskriptif) dan sejarah
pendidikan (deskriptif)
-Teori, pengembangan dan pembinaan kurikulum, serta
cabang ilmu pendidikan lainnya yang bersifat preskriptif.
-Berbagai studi empirik tentang fenomena pendidikan
-Berbagai studi pendidikan aplikatif (terapan)
khususnya mengenai pengajaran termasuk pengembangan specific content pedagogy.
Sedangkan telaah lingkup yang makro dan meso dari
pendidikan, merupakan bidang telaah utama yang memperbedakan antara objek
formal dari pedagogic dari ilmu pendidikan lainnya. Karena pedagogic tidak
langsung membicarakan perbedaan antara pendidikan informal dalam keluarga dan
dalam kelompok kecil lainnya., dengan pendidikan formal (dan non formal) dalam
masyarakt dan negara, maka hal itu menjadi tugas dari andragogi dan
cabang-cabang lain yang relevan dari ilmu pendidikan. Itu sebabnya dalam
pedagogic terdapat pembicaraan tentang factor pendidikan yang meliputi : (a)
tujuan hidup, (b) landasan falsafah dan yuridis pendidikan, (c) pengelolaan
pendidikan, (d) teori dan pengembangan kurikulum, (e) pengajaran dalam arti
pembelajaran (instruction) yaitu pelaksanaan kurikulum dalam arti luas di
lembaga formal dan non formal terkait.
2. Telaah ilmiah dan kontribusi ilmu bantu
Bidang masalah yang ditelaah oleh teori pendidikan
sebagai ilmu ialah sekitarmanuasia dan sesamanya yang memiliki kesamaan dan
keragaman di dalam fenomena pendidikan. Yang menjadi inti ilmu pendidikan
teoritis ialah Pedagogik sebagai ilmu mendidik yaitu mengenai tealaah (atau
studi) pendidikan anak oleh orang dewasa. Pedagogik teoritis selalu bersifat
sistematis karena harus lengkap problematic dan pembahasannya. Tetapi
pendidikan (atau pedagogi) diperlukan juga oleh semua orang termasuk orang
dewasa danb lanjut usia. Karena itu selain cabang pedagogic teoritis sistematis
juga terdapat cabvang-cabang pedagogic praktis, diantaranya pendidikan formal
di sekolah, pendidikan informal dalam keluarga, andragogi (pendidikan orang
dewasa) dan gerogogi (pendidikan orang lansia), serta pendidikan non-formal
sebagai pelengkap pendidikan jenjang sekolah dan pendidikan orang dewasa.
Di dalam menelaah manusia yang berinteraksi di dalam fenomena pendidikan, ilmu pendidikan khususnya pedagogic merupan satu-satunya bidang ilmu yang menelaah interaksi itu secara utuh yang bersifat antar dan inter-pribadi. Untunglah ada ilmu lain yang melakukan telaah atas perilaku manusia sebagai individu. Begitu juga halnya atas telaah interaksi sosial, telaah perilaku kelompok dalam masyarakat, telaah nilai dan norma sebagai isi kebudayaaan, dan seterusnya. Ilmu-ilmu yang melakukan telaah demikian dijadikan berfungsi sebagai ilmu bantu bagi ilmu pendidikan. Diantara ilmu bantu yang penting bagi pedagogic dan androgogi ialah : biologi, psikologi, sosiologi, antropologi budaya, sejarah dan fenomenologi (filsafah).
Di dalam menelaah manusia yang berinteraksi di dalam fenomena pendidikan, ilmu pendidikan khususnya pedagogic merupan satu-satunya bidang ilmu yang menelaah interaksi itu secara utuh yang bersifat antar dan inter-pribadi. Untunglah ada ilmu lain yang melakukan telaah atas perilaku manusia sebagai individu. Begitu juga halnya atas telaah interaksi sosial, telaah perilaku kelompok dalam masyarakat, telaah nilai dan norma sebagai isi kebudayaaan, dan seterusnya. Ilmu-ilmu yang melakukan telaah demikian dijadikan berfungsi sebagai ilmu bantu bagi ilmu pendidikan. Diantara ilmu bantu yang penting bagi pedagogic dan androgogi ialah : biologi, psikologi, sosiologi, antropologi budaya, sejarah dan fenomenologi (filsafah).
a.
Pendekatan fenomenologi dalam menelaah gejala
pendidikan
Pedagogik tidak menggunakan metode deduktif spekulatif dalam investigasinya berdasrkan penjabaran pendirian dasar-dasar filosofis. Pedagogik adalah ilmu pendidikan yang bersifat teoritis dan bukan pedagogic yang filosofis. Pedagogik melakukan telaah fenomenologis aatas fenomen yang bersifat empiris sekalipun bernuansa normative. Seperti dikatakan Langeveld (1955) Pedagogik mempergunakan pendekatan fenomenologis secara kualitatif dalam metode penelitiannya :
Pedagogik tidak menggunakan metode deduktif spekulatif dalam investigasinya berdasrkan penjabaran pendirian dasar-dasar filosofis. Pedagogik adalah ilmu pendidikan yang bersifat teoritis dan bukan pedagogic yang filosofis. Pedagogik melakukan telaah fenomenologis aatas fenomen yang bersifat empiris sekalipun bernuansa normative. Seperti dikatakan Langeveld (1955) Pedagogik mempergunakan pendekatan fenomenologis secara kualitatif dalam metode penelitiannya :
Pedagogik bersifat filosofis dan empiris. Berfikir
filosofis pada satu siti dan di pihak lain pengalaman dan penyelidikan empiris
berjalan bersama-sama. Hubungan-hubungan dan gejala yang menunjukkan cirri-ciri
pokok dari objeknya ada yang memaksa menunjuk ke konsekunsi yang filosofis,
adapula yang memaksakaan konsekunsi yang empiris karena data yang factual.
Pedagogik mewujudkan teori tindakan yang didahului dan diikuti oleh berfikir
filosofis. Dalam berfikir filosofis tentang data normative pedagogic didahului
dan diikuti oleh oleh pengalaman dan penyelesaikan empiris atas fenomena
pendidikan.
Itulah fenomena atau gejala pendidikan secraa mikro
yang menurut Langevald mengandung keenam komponen yng menjadi inti daari batang
tubuh pedagogic.
b.
Kontribusi ilmu-ilmu bantu terhadap pedagogic
Ilmu pendidikan khususnya pedagogic dan androgogi
tidak menggunakn metoda deskriptif-eksperimental karena manfaatnya terbtas pada
pemahaman atas perubahan perilaku siswa. Sedangkan prediksi dan kontrol yang
eksperimental diterapakan dan itupun manfaatnya terbatas sekali.
Seperti ditulis oleh Deese, 1963 :
Seperti ditulis oleh Deese, 1963 :
“Prediction and control, then are excellent criteria
of understnding aang they also provide us with some of the uses of
understanding. They are not always easy to apply, however, and I think little
is gained by pretending that they are. It is futile to issue promissory notes
about the future applications of the scientific study of education.”
Jadi kurang bermanfaat apabila ilmu pendidikan
mempergunakan metode deskriptif-eksperimental terhadap perubahan-perubahan
didalam pendidikan secarakuntitatif. Sebaliknya pedagogic dan androgogi harus
menjadi ilmu otonom yang menerapkan metode fenomenologi secara kualitatif.
Maksudnya ialah agar dapat memperoleh data yang tidak normative (data factual)
dalam jumlah seperlunya dari ilmu biologi, psikologi dan ilmu-ilmu sosial.
Tetapi ilmu pendidikan harus sedapat mungkin melakukan pengumpulan datanya sendiri
langsung dari fenomena pendidikan, baik oleh partisipan-pengamat (ilmuwan)
ataupun oleh pendidik sendiri yang juga biasa melakukan analisis apabila
situasi itu memaksanya harus bertindak kreatif. Tentu saja untuk itu diperlukan
prasyarat penguasaan atas sekurang-kurangnya satu ilmu Bantu dan/atau filsafat
umum.
Berikut ini adalah beberapa implikasi landasan filsafat pendidikan bagi
para guru, pendidikan guru, dan tenaga kependidikan:
1.
Implikasi Bagi Guru
Apabila kita konsekuen terhadap upaya memprofesionalkan pekerjaan guru maka
filsafat pendidikan merupakan landasan berpijak yang mutlak. Artinya, sebagai
pekerja professional, tidaklah cukup bila seorang guru hanya menguasai apa yang
harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kedua penguasaan ini baru tercermin
kompetensi seorang tukang.
Disamping penguasaan terhadap apa dan bagaimana tentang tugasnya, seorang
guru juga harus menguasai mengapa ia melakukan setiap bagian serta tahap
tugasnya itu dengan cara tertentu dan bukan dengan cara yang lain. Jawaban
terhadap pertanyaan mengapa itu menunjuk kepada setiap tindakan seorang guru
didalam menunaikan tugasnya, yang pada gilirannya harus dapat dipulangkan
kepada tujuan-tujuan pendidikan yang mau dicapai, baik tujuan-tujuan yang lebih
operasional maupun tujuan-tujuan yang lebih abstrak. Oleh karena itu maka semua
keputusan serta perbuatan instruksional serta non-instruksional dalam rangka
penunaian tugas-tugas seorang guru dan tenaga kependidikan harus selalu dapat
dipertanggungjawabkan secara pendidikan (tugas professional, pemanusiaan dan
civic) yang dengan sendirinya melihatnya dalm perspektif yang lebih luas dari
pada sekedar pencapaian tujuan-tujuan instruksional khusus, lebih-lebih yang
dicekik dengan batasan-batasan behavioral secara berlebihan.
Dimuka juga telah dikemukakan bahwa pendidik dan subjek didik melakukan
pemanusiaan diri ketika mereka terlihat di dalam masyarakat profesional yang
dinamakan pendidikan itu; hanyalah tahap proses pemanusiaan itu yang berbeda,
apabila diantara keduanya, yaitu pendidik dan subjek didik, dilakukan perbandingan.
Ini berarti kelebihan pengalaman, keterampilan dan wawasan yang dimiliki guru
semata-mata bersifat kebetulan dan sementara, bukan hakiki. Oleh karena itu
maka kedua belah pihak terutama harus melihat transaksi personal itu sebagai
kesempatan belajar dan khusus untuk guru dan tenaga kependidikan, tertumpang
juga tanggungjawab tambahan menyediakan serta mengatur kondisi untuk
membelajarkan subjek didik, mengoptimalkan kesempatamn bagi subjek didik untuk
menemukan dirinya sendiri, untuk menjadi dirinya sendiri (Learning to Be, Faure
dkk, 1982). Hanya individu-individu yang demikianlah yang mampu membentuk
masyarakat belajar, yaitu masyarakat yang siap menghadapi perubahan-perubahan
yang semakin lama semakin laju tanpa kehilangan dirinya.
Apabila demikianlah keadaannya maka sekolah sebagai lembaga pendidikan
formal hanya akan mampu menunaikan fungsinya serta tidak kehilangan hak
hidupnya didalam masyarakat, kalau ia dapat menjadikan dirinya sebagai pusat
pembudayaan, yaitu sebagai tempat bagi manusia untuk meningkatkan martabatnya.
Dengan perkataan lain, sekolah harus menjadi pusat pendidikan. Menghasilkan
tenaga kerja, melaksanakan sosialisasi, membentuk penguasaan ilmu dan
teknologi, mengasah otak dan mengerjakan tugas-tugas persekolahan, tetapi yang
paling hakiki adalah pembentukan kemampuan dan kemauan untuk meningkatkan
martabat kemanusiaan seperti telah diutarakan di muka dengan menggunakan cipta,
rasa, karsa dan karya yang dikembangkan dan dibina.
Perlu digarisbawahi di sini adalah tidak dikacaukannya antara bentu dan hakekat. Segala ketentuan prasarana dan sarana sekolah pada hakekatnya adalah bentuk yang diharapkan mewadahi hakekat proses pembudayaan subjek didik. Oleh karena itu maka gerakan ini hanya berhenti pada “penerbitan” prasarana dan sarana sedangkan transaksi personal antara subjek didik dan pendidik, antara subjek didik yang satu dengan subjek didik yang lain dan antara warga sekolah dengan masyarakat di luarnya masih belum dilandasinya, maka tentu saja proses pembudayaan tidak terjadi. Seperti telah diisyaratkan dimuka, pemberian bobot yang berlebihan kepada kedaulatan subjek didikakan melahirkan anarki sedangkan pemberian bobot yang berlebihan kepada otoritas pendidik akan melahirkan penjajahan dan penjinakan. Kedua orientasi yang ekstrim itu tidak akan menghasilkan pembudayaan manusia.
Perlu digarisbawahi di sini adalah tidak dikacaukannya antara bentu dan hakekat. Segala ketentuan prasarana dan sarana sekolah pada hakekatnya adalah bentuk yang diharapkan mewadahi hakekat proses pembudayaan subjek didik. Oleh karena itu maka gerakan ini hanya berhenti pada “penerbitan” prasarana dan sarana sedangkan transaksi personal antara subjek didik dan pendidik, antara subjek didik yang satu dengan subjek didik yang lain dan antara warga sekolah dengan masyarakat di luarnya masih belum dilandasinya, maka tentu saja proses pembudayaan tidak terjadi. Seperti telah diisyaratkan dimuka, pemberian bobot yang berlebihan kepada kedaulatan subjek didikakan melahirkan anarki sedangkan pemberian bobot yang berlebihan kepada otoritas pendidik akan melahirkan penjajahan dan penjinakan. Kedua orientasi yang ekstrim itu tidak akan menghasilkan pembudayaan manusia.
2.
Implikasi bagi Pendidikan Guru dan Tenaga
Kependidikan
Tidaklah berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa di Indonesia kita belum
punya teori tentang pendidikan guru dan tenaga kependidikan. Hal ini tidak
mengherankan karena kita masih belum saja menyempatkan diri untuk menyusunnya.
Bahkan salahsatu prasaratnya yaitu teori tentang pendidikan sebagimaana
diisyaratkan pada bagian-bagian sebelumnya, kita masih belum berhasil
memantapkannya. Kalau kita terlibat dalam berbagi kegiatan pembaharuan
pendidikan selama ini maka yang diperbaharui adalah pearalatan luarnya bukan
bangunan dasarnya.
Hal diatas itu dikemukakan tanpa samasekali didasari oleh anggapan bahwa
belum ada diantara kita yang memikirkan masalah pendidikan guru itu.
Pikiran-pikiran yang dimaksud memang ada diketengahkan orang tetapi praktis
tanpa kecuali dapat dinyatakan sebagi bersifat fragmentaris, tidak menyeluruh.
Misalnya, ada yang menyarankan masa belajar yang panjang (atau, lebih cepat, menolak
program-program pendidikan guru yang lebih pendek terutama yang diperkenalkan
didalam beberapa tahun terakhir ini) ; ada yang menyarankan perlunya
ditingkatkan mekanisme seleksi calon guru dan tenaga kependidikan; ada yang
menyoroti pentingnya prasarana dan sarana pendidikan guru; dan ada pula yang
memusatkan perhatian kepada perbaikan sistem imbalan bagi guru sehingga bisa
bersaing dengan jabtan-jabatan lain dimasyarakat. Tentu saja semua saran-saran
tersebut diatas memiliki kesahihan, sekurang-kurangnya secara partial, akan
tetapi apabila di implementasikan, sebagian atau seluruhnya, belum tentu dapat
dihasilkan sistem pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang efektif.
Sebaiknya teori pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang produktif
adalah yang memberi rambu-rambu yang memadai didalam merancang serta
mengimplementasikan program pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang
lulusannya mampu melaksanakan tugas-tugas keguruan didalam konteks pendidikan
(tugas professional, kemanusiaan dan civic). Rambu-rambu yang dimaksud disusun
dengan mempergunakan bahan-bahan yang diperoleh dari tiga sumber yaitu:
pendapat ahli, termasuk yang disangga oleh hasil penelitian ilmiah, analisis
tugas kelulusan serta pilihan nilai yang dianut masyarakat. Rambu-rambu yang
dimaksud yang mencerminkan hasil telaahan interpretif, normative dan kritis
itu, seperti telah diutarakan didalam bagian uraian dimuka, dirumuskan kedalam
perangkat asumsi filosofis yaitu asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu bagi
perancang serta implementasi program yang dimaksud. Dengan demikian, perangkat
rambu-rambu yang dimaksud merupakan batu ujian didalam menilai perancang dan
implementasi program, maupun didalam “mempertahankan” program dari
penyimpngan-penyimpangan pelaksanaan ataupun dari serangan-serangan konseptual.
Masalah pendidikan mikro yang menjadi focus disini khususnya ialah dasar dan landasan pendidikan serta landasan ilmu pendidikan yaitu manusia atau sekelompok kecil manusia dalam fenomena pendidikan.
1. Pendidikan dalam Praktek Memerlukan teori
Alangkah pentingnya kita berteori dalam praktek di lapangan pendidikan
karena pendidikan dalam praktek harus dipertanggungjawabkan. Tanpa teori dalam
arti seperangkat alasan dan rasional yang konsisten dan saling berhubungan maka
tindakan-tindakan dalam pendidikan hanya didasarkan atas alasan-alasan yang
kebetulan, seketika dan aji mumpung. Hal itu tidak boleh terjadi karena setiap
tindakan pendidikan bertujuan menunaikan nilai yang terbaik bagi peserta didik
dan pendidik. Bahkan pengajaran yang baik sebagai bagian dari pendidikan selain
memerlukan proses dan alasan rasional serta intelektual juga terjalin oleh
alasan yang bersifat moral. Sebabnya ialah karena unsur manusia yang dididik
dan memerlukan pendidikan adalah makhluk manusia yang harus menghayati
nilai-nilai agar mampu mendalami nilai-nilai dan menata perilaku serta pribadi
sesuai dengan harkat nilai-nilai yang dihayati itu.
Kita baru saja menyaksikan pendidikan di Indonesia gagal dalam praktek
berskala makro dan mikro yaitu dalam upaya bersama mendalami, mengamalkan dan
menghayati Pancasila. Lihatlah bagaimana usaha nasional besar-besaran selama 20
tahun (1978-1998) dalam P-7 (Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) berakhir kita nilai gagal menyatukan
bangsa untuk memecahkan masalah nasional suksesi kepresidenan secara damai
tahun 1998, setelah krisis multidimensional melanda dan memporakporandakan
hukum dan perekonomian negara mulai pertengahan tahun 1997, bahkan sejak 27
Juli 1996 sebelum kampanye Pemilu berdarah tahun 1997. itu adalah contoh
pendidikan dalam skala makro yang dalam teorinya tidak pas dengan Pancasila
dalam praktek diluar ruang penataran. Mungkin penatar dan petatar dalam
teorinya ber-Pancasila tetapi didalam praktek, sebagian besar telah cenderung
menerapkan Pancasila Plus atau Pancasila Minus atau kedua-duanya. Itu sebabnya
harus kita putuskan bahwa P-7 dan P-4 tidak dapat dipertanggungjawabkan,
setidak-tidaknya secara moral dan sosial. Mari kita kembali berprihatin sesuai
ucapan Dr. Gunning yang dikutip Langeveld (1955).
“Praktik tanpa teori adalah untuk orang idiot dan gila, sedangkan teori
praktek hanya untuk orang-orang jenius”. Ini berarti bahwa sebaiknya pendidikan
tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang yang mampu bertanggung jawab secara
rasional, sosial dan moral. Sebaliknya apabila pendidikan dalam praktek
dipaksakan tanpa teori dan alasan yang memadai maka hasilnya adalah bahwa semua
pendidik dan peserta didik akan merugi. Kita merugi karena tidak mampu
bertanggung jawab atas esensi perbutan masing-masing dan bersama-sama dalam
pengamalan Pancasila. Pancasila yang baik dan memadai, konsisten antara
pengamalan (lahiriah) dan penghayatan (psikologis) dan penataan nilai secara
internal. Dalam hal ini kita bukan menyaksikan kegiatan (praktek) pendidikan
tanpa dasar teorinya tetapi suatu praktek pendidikan nasional tanpa suatu teori
yang baik.
2. Landasan Sosial dan Individual Pendidikan
Pendidikan sebagai gejala sosial dalm kehidupan mempunyai landasan
individual, sosial dan cultural. Pada skala mikro pendidikan bagi individu dan
kelompok kecil beralngsung dalam skala relatif tebatas seperti antara sesama
sahabat, antara seorang guru dengan satu atau sekelompok kecil siswanya, serta
dalam keluarga antara suami dan isteri, antara orang tua dan anak serta anak
lainnya. Pendidikan dalam skala mikro diperlukan agar manusia sebagai individu
berkembang semua potensinya dalam arti perangkat pembawaanya yang baik dengan
lengkap. Manusia berkembang sebagai individu menjadi pribadi yang unik yang
bukan duplikat pribadi lain. Tidak ada manusia yang diharap mempunyai
kepribadian yang sama sekalipun keterampilannya hampir serupa. Dengan adanya
individu dan kelompok yang berbeda-beda diharapkan akan mendorong terjadinya
perubahan masyarakat dengan kebudayaannya secara progresif. Pada tingkat dan
skala mikro pendidikan merupakan gejala sosial yang mengandalkan interaksi
manusia sebagai sesama (subyek) yang masing-masing bernilai setara. Tidak ada
perbedaan hakiki dalam nilai orang perorang karena interaksi antar pribadi
(interpersonal) itu merupakan perluasan dari interaksi internal dari seseorang
dengan dirinya sebagai orang lain, atau antara saya sebagai orang kesatu (yaitu
aku) dan saya sebagai orang kedua atau ketiga (yaitu daku atau-ku; harap
bandingkan dengan pandangan orang Inggris antara I dan me).
Pada skala makro pendidikan berlangsung dalam ruang lingkup yang besar
seperti dalam masyarakat antar desa, antar sekolah, antar kecamatan, antar
kota, masyarakat antar suku dan masyarakat antar bangsa. Dalam skala makro
masyarakat melaksanakan pendidikan bagi regenerasi sosial yaitu pelimpahan
harta budaya dan pelestarian nilai-nilai luhur dari suatu generasi kepada
generasi muda dalam kehidupan masyarakat. Diharapkan dengan adanya pendidikan
dalam arti luas dan skala makro maka perubahan sosial dan kestabilan masyarakat
berangsung dengan baik dan bersama-sama. Pada skala makro ini pendidikan
sebagai gejala sosial sering terwujud dalam bentuk komunikasi terutama
komunikasi dua arah. Dilihat dari sisi makro, pendidikan meliputi kesamaan arah
dalam pikiran dan perasaan yang berakhir dengan tercapainya kemandirian oleh
peserta didik. Maka pendidikan dalam skala makro cenderung dinilai bersifat
konservatif dan tradisional karena sering terbatas pada penyampaian bahan ajar
kepada peserta didik dan bisa kehilangan ciri interaksi yang afektif.
3. Teori Pendidikan Memadu Jalinan Antara
Ilmu dan Seni
Adanya aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah seperti disebut tadi
mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena (situasi) pendidikan adalah paduan
antara manusia sebagai sebagai fakta dan manusia sebaai nilai. Tiap manusia
bernilai tertentu yuang bersifat luhur sehingga situasi pendidikan memiliki
bobot nilai individual, sosial dan bobot moral. Itu sebabnya pendidikn dalam
praktek adalah fakta empiris yang syarat nilai berhubung interaksi manusia
dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua arah
melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat maniusiawi seperti saya atau
siswa mendidik diri sendiri atas dasar hubungan pribadi dengan pribadi (higher
order interactions) antar individu dan hubungan intrapersonal secara afektif
antara saya (yaitu I) dan diriku (diri sendiri yaitu my self atau the self).
Adapun manusia sebagai fakta empriris tentu meliputi berbagai variabel dan
hubungan variabel yang terbatas jumlahnya dalam telaah deskriptif ilmu-ilmu.
Sedangkan jumlah variabelnya amat banyak dan hubungan-hubungan antara variabel
amat kompleks sifatnya apabila pendidik memelihara kualitas interaksinya dengan
peserta didik secra orang perorang (personal).
Sepeti dikatakan tentang siswa belajar aktif oleh Phenix (1958:40), yaitu :
“It possible to conceive of teacher and student as one and same person and the self taught person as one who direct his own development through an internal interaction between the self as I and the self as me on the other hand, it is usual for one teacher to teach many students simultaneously. In that even the quality oef the interaction may become generalized and impersonal, or it may, by appropriate means, retain its person to person character.
“It possible to conceive of teacher and student as one and same person and the self taught person as one who direct his own development through an internal interaction between the self as I and the self as me on the other hand, it is usual for one teacher to teach many students simultaneously. In that even the quality oef the interaction may become generalized and impersonal, or it may, by appropriate means, retain its person to person character.
Artinya sift manusiawi dari pendidikan (manusia dalam pendidikan) harus
terpelihara demi kualitas proses dan hasil pendidikan. Pemeliharaan itulah yang
menuntut agar pendidik siap untuk bertindak sewaktu-waktu secara kreatif
(berkiat menciptakan situasi yang pas, apabila perlu. Misalnya atas dasar
diagnostik klinis) sekalipun tanpa prognosis yang lengkap namun utamanya
berdasarkan sikap afektif bersahabat terhadap terdidik. Kreativitas itu
didasarkan kecintaan pendidik terhadap tugas mendidik dan mengajar, itu
sebabnya gejala atau fenomena pendidikan tidak dapat direduksi sebagai gejala
sosial atau gejala komunikasi timbal balik belaka. Apabila ilmu-ilmu sosial
atau behavioral mampu menerapkan pendekatan dan metode ilmiah (Pearson, 1900)
secara termodifikasi dalam telaah manusia melalui gejala-gejala sosial, apakah
ilmu pendidikan harus bertindak serupa untuk mengatasi ketertinggalan- nya
khususnya ditanah air kita ?
Atau seperti dikatakan secara ilmiah oleh NL. Gage (1978:20), “Scientific
method can contribute relationships between variaboles, taken two at a time and
even in the form of interactions, three or perhaps four or more at a time.
Beyond say four, the usefulness of what science can give the teacher begins to
weaken, because teacher cannot apply, at least not without help and not on the
run, the more complex interactions. At this point, the teacher as an artist
must step in and make clinical, or artistic, judgement about the best ways to
teach.”
Pendidik memang harus bertindak pada latar mikro termasuk dalam kelas atau
di sekolah kecil, mempengaruhi peserta didik dan itu diapresiasi oleh telaah
pendidikan berskala mikro, yaitu oleh paedagogik (teoritis) dan andragogi
(suatu pedagogic praktis). Itu sebabnya ilmu pendidikan harus lebih inklusif
daripada pengajaran (yang makro) lebih utama daripada mengajar dan mendidik.
Bahkan kegiatan pengajaran disekolah memerlukan perencanaan dalam arti
penyusunan persiapan mengajar. Dalam pandangan ilmu pendidikan yang otonom,
ruang lingkup pengajaran tidak dengan sendirinya mencakup kegiatan mendidik dan
mengajar.
Atas dasar pokok-pokok pikiran tentang aspek lahiriah, psikologis dan
rohaniah dari manusia dalam fenomena pendidikan maka pendidikan dalam praktek
haruslah secara lengkap mencakup bimbingan, mendidik, mengajar dan pengajaran.
Dalam fenomena yang normal peserta didik dapat didorong aga belajar aktif
melalui bimbingan dan mengajar. Tetapi adakalanya dalam situasi kritis siswa
perlu meniru cara guru yang aktif belajar sendiri. Itu sebabnya
perundang-undangan pendidikan kita sebenarnya perlu diluruskan, pada satu sisi
agar upaya mendidik terjadi dalam keluarga secara wajar, disisi lain agar
pengajaran disekolah meliputi dimensi mendidik dan mengajar. Lagi pula bahwa
diferensisasi dan fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan perlu ditentukan
utamanya harus melakukan pengajaran dan mengelola kurikulum formal sebagai
aspek spesialisasinya agar beroperasi efisien. Sedangkan konsep pendidikan yang
juga mencakup program latihan (UU. No. 2/1989 Pasal 1 butir ke-1) adalah suatu
konstruk yang amat luas dilihat dari perspektif sekolah sebagai lembaga
pendidikan formal.
Maka konsep pendidikan yang memerlukan ilmu fdan seni ialah proses atau
upaya sadar antar manusia dengan sesama secara beradab, dimana pihak kesatu
secara terarah membimbing perkembangan kemampuan dan kepribadian pihak kedua
secara manusiawi yaitu orang perorang. Atau bisa diperluas menjadi makro
sebagai upaya sadar manusia dimana warga maysrakat yang lebih dewasa dan
berbudaya membantu pihak-pihak yangkurang mampu dan kurang dewasa agar
bersama-sama mencapai taraf kemampuan dan kedewasaan yang lebih baik (Phenix,
1958:13), Buller, 1968:10). Dalam arti ini juga sekolah laboratorium akan memerlukan
jalinan praktek ilmu dan praktek seni. Sebaliknya butir 1 pasal 1, UU No. 2
/1989 kiranya kurang tepat sehingga tentu sulit menuntut siswa ber CBSA padahal
guru belum tentu aktif belajar, mengingat definisi pendidikan yang makro, yaitu
:
“Pendidikan ialah usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang
akan dating”.
Kiranya konsep pendidikan yang demikian yang demikian kurang mampu memberi isi kepada tujuan dan semangat Bab XIII UUD 1945 yang merujuk bidang pendidikan sebagai amanah untuk mewujudkan keterkaitan erat antara sistem pengajaran nasional dengan kebudayaan kebangsaan. Karena itu dalam lingkup pendidikan menurut skala mikro dan abstark yang lebih makro, pendidik harus juga peduli dengan aspek etis (moral) dan estetis dari pengalamannya berinteraksi dengan peserta didik selain aspek pengetahuan, kebenaran dan perilaku yang disisyaratkan oleh konsep pendidikan menurut undang-undang tadi. Hal ini sesuai dengan pandangan Ki Hajar Dewantara (1950) sebagai berikut :
Kiranya konsep pendidikan yang demikian yang demikian kurang mampu memberi isi kepada tujuan dan semangat Bab XIII UUD 1945 yang merujuk bidang pendidikan sebagai amanah untuk mewujudkan keterkaitan erat antara sistem pengajaran nasional dengan kebudayaan kebangsaan. Karena itu dalam lingkup pendidikan menurut skala mikro dan abstark yang lebih makro, pendidik harus juga peduli dengan aspek etis (moral) dan estetis dari pengalamannya berinteraksi dengan peserta didik selain aspek pengetahuan, kebenaran dan perilaku yang disisyaratkan oleh konsep pendidikan menurut undang-undang tadi. Hal ini sesuai dengan pandangan Ki Hajar Dewantara (1950) sebagai berikut :
“Taman Siswa mengembangkan suatu cara pendidikan yang tersebut didalam
Among dan bersemboyan ‘Tut Wuri Handayani’ (mengikuti sambil mempengaruhi).
Arti Tut Wuri aialah mengikuti, namun maknanya ialah mengikuti perkembangan
sang anak dengan penuh perhatian berdasarkan cinta kasih dan tanpa pamrih,
tanpa keinginan menguasai dan memaksa, dan makna Handayani ialah mempengaruhi
dalam arti merangsang, memupuk, membimbing, memberi teladan agar sang anak
mengem-bngkan pribadi masing-masing melalui disiplin pribadi”.
Demikian bagi Ki Hajar Dewantara pendidikan pada skala mikro tidak terlepas
dari pendidikan dalam arti makro, bahkan disipilin pribadi adalah tujuan dan
cara dalam mencapai disiplin yang lebih luas. Ini berarti bahwa landasan
pendidikan terdapat dalam pendidikan itu sendiri, yaitu factor manusianya.
Dengan demikian landasan-landasan pendidikan tidak mesti dicari diluar fenomena
(gejala) pendidikan termasuk ilmu-ilmu lain dan atau filsafat tertentu dari
budaya barat. Oleh karena itu data ilmu pendidikan tidak tergantung dari studi
ilmu psikologi., fisiologi, sosiologi, antropologi ataupun filsafat. Lagi pula
konsep pengajaran (yang makro) berdasarkan kurikulum formal tidak dengan
sendirinya bersifat inklusif dan atau sama dengan mengajar. Bahkan dalam banyak
hal pengajaran itu tergantung hasilnya dari kualitas guru mengajar dalam kelas
masing-masing. Sudah barang tentu asas Tut Wuri Handayani tidak akan menjadikan
pengajaran identik dengan sekedar upaya sadar menyampaikan bahan ajar dikelas
kepada rombongan siswa mengingat guru harus berhamba kepada kepentingan
siswanya.
Drs. H. Erawan Aidid, M.Pd
SMK Islam Tikung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar