Opini Jawa
Pos [Senin,
04 Januari 2010]
Kebesaran
Gus Dur
Gus Dur Pahlawan untuk Semua
Oleh: Ma'mun Murod
H. Erawan Aidid
TOKOH besar dan bapak bangsa -dengan beragam predikat- KH Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) telah berpulang ke rahmatullah. Gus Dur adalah sosok pemikir Islam genuine
Indonesia. Gus Dur adalah sosok pemikir yang lebih menggambarkan wajah Islam
Indonesia: akulturatif, moderat, dan toleran.
Pemikiran Gus Dur berbeda
dengan pemikiran mereka yang mencoba menampilkan wajah "Islam
skripturalis". Berbeda juga dengan mereka yang mencoba menampilkan wajah
Indonesia yang sekuleristik.
Saat ini, rasanya hampir
semua gagasan dan pemikiran Gus Dur telah terpublikasikan, baik dalam bentuk
karya ilmiah seperti skripsi, tesis, disertasi maupun dalam bentuk kumpulan
tulisan yang diedit editor dengan beragam latar belakang paham keagamaan.
Begitu tidak sia-sianya
perjuangan panjang nan konsisten yang telah Gus Dur lakukan. Gus Dur telah
menuai hasil. Gagasan-gagasannya telah merasuk di sebagian besar generasi
muda NU dan dalam batas tertentu juga telah merasuk di sebagian angkatan muda
Muhammadiyah.
Relasi
Agama-Negara
Ketika rezim Orde Baru
bermaksud menetapkan asas tunggal Pancasila, melalui Munas Alim Ulama 1983
dan Muktamar NU 1984, NU menerima asas tunggal. Dan, salah satu motor
penerimaan asas tunggal adalah Gus Dur yang dipilih -melalui mekanisme ahlul
halli wal aqdhi- sebagai ketua tanfidziyah PB NU pada muktamar tersebut.
Dibanding ormas lain, NU adalah ormas pertama yang menerima asas tunggal. Alasannya bukan didasarkan "strategi perjuangan politik", melainkan keabsahannya di mata fiqh. NU memberi batasan yang jelas antara wilayah "kekuasaan agama" dan "kekuasaan negara". Agama dan negara mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri.
Atas dasar ini, tidak
heran kalau NU dengan mudah menerima asas tunggal. Sementara ormas Islam lain
kesulitan beradaptasi dengan keinginan negara. Mereka tidak mampu mendudukkan
keimanan dan ideologi. Mereka menganggap soal Pancasila berada di luar soal
agama. Pancasila hanya diterima sebagai ideologi tanpa dikaitkan dengan
alasan keagamaan.
Menurut Gus Dur, hal itu
tidak benar karena berarti mereka mempunyai kesetiaan ganda, setia pada
Pancasila dan agama. Dalam pandangan Gus Dur, kalau setia pada Islam,
juga harus setia pada negara. Sebab, negara merupakan bagian dari kegiatan masyarakat
yang dibuat bersama. Sementara akidah merupakan milik sendiri. Ada perbedaan,
tetapi tetap dalam satu kaitan.
Komitmennya yang begitu
total terhadap Pancasila menjadikan Gus Dur sebagai salah satu dari sedikit
cendekiawan muslim yang menolak setiap upaya menjadikan Islam sebagai
ideologi negara. Namun, bukan berarti Gus Dur tak menghendaki terciptanya
"masyarakat islami" (lebih pada value). Gus Dur
berbeda pendapat dengan mereka yang ingin membina "masyarakat
Islam". Sebab, itu merupakan pengkhianatan terhadap konstitusi, karena
ia akan menempatkan nonmuslim sebagai masyarakat kelas dua. Tapi, sebuah
"masyarakat Indonesia" yang di dalamnya umat Islam tumbuh kuat
-berfungsi dengan baik- dianggap lebih baik".
Relasi Muhammadiyah-NU
Gus Dur termasuk sosok
yang menginginkan adanya relasi harmoni antara Muhammadiyah dan NU. Beberapa
sikap politik dan pandangan Gus Dur setidaknya menggambarkan kuatnya
keinginan tersebut. Ketika sebagian nahdliyin mengklaim NU sebagai
satu-satunya representasi Ahlusunnah wal Jamaah (Sunni), Gus Dur
berpandangan bahwa Muhammadiyah, Persis, Perti, dan Al-Washliyah juga layak
disebut Sunni.
Dalam konteks politik,
Gus Dur senantiasa mencoba melibatkan warga Muhammadiyah. Ketika mendirikan
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), beberapa tokoh Muhammadiyah duduk sebagai
pengurus DPP PKB, seperti dr Sukiat, dan Habib Chirzin. Marzuki Usman pernah
menjadi ketua DPW PKB DKI Jakarta sebelum digantikan Muslim Abdurrahman.
Ketika menjadi presiden, Gus Dur memercayakan Menteri Pendidikan Nasional
kepada Yahya Muhaimin dan kepala LKBN Antara kepada Mohamad Sobary.
Dalam berbagai
kesempatan, Gus Dur kerap menceritakan seputar kedekatan KH Hasyim Asy'ari
dan KH Ahmad Dahlan. Kedekatan ini digambarkan Gus Dur ketika menceritakan
mula pertama berdirinya Muhammadiyah, yang sempat muncul penilaian
''sesat" di masyarakat. Penilaian ini sempat disampaikan langsung ke KH
Hasyim Asy'ari. Ketika KH Hasyim Asy'ari mengetahui bahwa yang menyebarkan
"ajaran sesat" itu ternyata KH Ahmad Dahlan -teman seperguruannya
ketika nyantri di Pesantren Langitan, Pesantren Soleh Darat, dan di
Makkah, serta merta KH Hasyim Asy'ari menyatakan bahwa ajaran itu "tidak
sesat".
Pahlawan
Nasional
Hanya sehari selepas
meninggalnya Gus Dur, sudah bermunculan usul dan gagasan dari beberapa pihak
untuk memberikan gelar pahlawan kepada Gus Dur. Tidak kurang beberapa pejabat
negara, seperti menteri sosial, menteri agama, dan partai politik seperti
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan
Partai Gerindra merespons positif usul tersebut.
Menilik sumbangsih Gus
Dur terhadap bangsa ini, terlebih dalam konteks relasi Islam dan negara,
pluralisme, pembelaan, dan penghargaannya terhadap kelompok minoritas,
toleransi antarumat beragama, rasanya tidak berlebihan usul pemberian gelar
pahlawan diterima. Justru mengherankan kalau negara tidak memberikan gelar
pahlawan kepada tokoh sekaliber Gus Dur, yang tidak hanya diakui di lingkup
internal NU, nasional, tapi juga di dunia internasional yang ditandai dengan
pemberian berbagai penghargaan internasional, termasuk beberapa gelar doktor
honoris causa dari beberapa universitas di luar negeri.
Dengan reputasinya yang
demikian, pemberian gelar pahlawan menjadi sangat wajar. Karena the real,
Gus Dur adalah "Pahlawan untuk Semua". (*)
*). Ma'mun Murod Al-Barbasy, ketua PP Pemuda Muhammadiyah dan Direktur Laboratorium Ilmu Politik FISIP
Universitas Muhammadiyah Jakarta.
|
Jumat, 23 Maret 2012
Kebesaran Gus-Dur
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar