Konfigurasi

SELAMAT DATANG DI ERAWAN AIDID BLOGSPOT HP 085645119900

Jumat, 14 September 2012

Drama



D R A M A
A. Hakikat Drama
Sebagai suatu genre sastra drama mempunyai kekhususan dibanding dengan genre puisi ataupun genre fiksi.  Kekhususan drama disebabkan tujuan drama ditulis pengarangnya tidak hanya berhenti sampai pada tahap pembeberan peristiwa untuk dinikmati secara artistik imajinatif oleh para pembacanya, namun mesti diteruskan untuk kemungkinan dapat dipertontonkan dalam suatu penapilan gerak dan perilaku konkret yang dapat disaksikan. Kekhususan drama inilah yang kemudian menyebabkan pengertian drama sebagai suatu genre sasta lebih terfokus sebagai suatu karya yang lebih beroreintasi kepada seni pertunjukan, dibandingkan sebagai genre sastra.
Sebagai sebuah karya yang mempunyai dua dimensi, dimensi sastra dan dimensi seni pertunjukkan, maka pementasan drama harus dianggap sebagai penafsiran dari penafsiran yang telah ada yang dapat ditarik dari suatu karya drma. Dengan kata lain penafsiran itu memberikan kepada drama sebuah penafsiran kedua (Luxemburg, 1984:158). Maksud dari pernyataan ini adalah, pementasan baru dimungkinkan terjadi jika teks drama telah dan ditafsirkan oleh sutradara dan para pemain untuk kepentingan suatu seni pera yang didukung oleh perangkat panggung, seperti dekor, kostum, tata panggung, tata rias, tata cahaya, dan tata musik.
Sesuatu yang terjadi di atas panggung, tidak termasuk pada teori drama sebagai genre sastra, melainkan kepada ilmu drama sebagai suatu seni pertunjuk­kan, yang oleh banyak pihak pada saat ini disebut dengan istilah teater. Dengan demikian, hasil penafsiran sutradara dan pemain yang kemudian menjadi suatu seni pertunjukkan dari suatu teks drama memberikan pemahaman lain bagi peneliti atau mereka yang sedang meneliti teks drama, di samping pemahaman yang telah dimiliki dari pembacaan teks drama.
Sebagai sebuah genre sastra, drma memungkinkan ditulis dalam bahasa yang memikat dan mengesankan. Drama dapat ditulis oleh pengarangnya dengan mempergunakan bahasa sebagaimana sebuah sajak.  Penuh irama dan kaya akan bunyi yang indah, namun sekaligus menggambarkan watak-watak manusia secara tajam, serta menampilkan peristiwa yang penuh kejutan (suspense) (Sumardjo, 1984:127).
Satu hal yang menjadi ciri drama adalah semua kemungkinan itu harus ditampilkan dalam bentuk dialog-dialog dari para tokoh. Oleh karena itulah, seorang pembaca yang membaca suatu teks drama tanpa tanpa menyaksikan pementasan drama tersebut mau tidak mau harus membayangkan jalur peristiwa di atas pentas. Sebagaimana yang dikemukakan Luxemburg, dkkk (1984:158) pengarang pada prinsipnya memperhitungkan kesempatan ataupun pembatasan khusus, akibat adanya orientasi untuk kepentingan pementasan.  Artinya, bagaimanapun pengarang drma telah memilih bahasa sebagai pengucapan dramanya, ia tetap tidak dapat sebebas pengarang fiksi atau penulis fiksi atau penulis sajak. Cara pengungkapan melalui dialog sebagai ciri utama drama inilah yang memberikan pembatasan yang dimaksud. Kelebihan drama dibandingkan dengan genre fiksi dan genre puisi, terletak pada pementasannya. Penikmat akan menyaksikan secara langsung pengalaman yang diungkapan pengarang. Penikmat benar-benar menyaksikan peristiwa yang ditampilkan di atas panggung. Akibatnya terhadap penikmat akan lebih mendalam, lebih pekat dan lebih intens.
Sebagai sebuah genre sastra, drama dibangun dan dibentuk oleh unsur-unsur sebagaimana terlihat dalam genre sastra lainnya, terutam agenre fiksi. Secara umum sebagaimana fiksi, terdapat unsur yang membentuk dan membangun dari dalam karya itu sendiri (intrinsik) dan unsur yang mempengaruhi penciptaan karya yang tentunya berasal dari luar karya (ekstrinsik). Dengan demikian, kapasitas drama sebagai karya sastra haruslah dipahami bahwa drama tidak hadir begitu saja. Sebagai karya kreatif kemunculannya disebabkan oleh banyak hal. Kreativitas pengarang dan realitas objektif (kenyataan semesta) sebagai unsur ekstrinsik mempengaruhi penciptaan drama. Sementara itu, dari dalam karya itu sendiri cerita dibentuk oleh unsur-unsur penokohan, alur, latar, konflik-konflik, tema dan amantar, serta aspek gaya bahasa.
Selanjutnya, drama sebagai seni pertunjukkan hanya dibentuk dan dibangun oleh unsur-unsur yang menyebabkan suatu pertunjukan dapat terlaksana dan terselenggara. Menurut Damono (1983:114) ada tiga unsur yang merupakan satu kesatuan yang menyebabkan drama dapat dipertunjukkan. Unsur yang dimaksud yaitu (1) unsur naskah, (2) unsur pementasan, dan (3) unsur penonton. Kehilangan satu di antaranya mustahil drama akan menjadi suatu pertunjukkan. Pada unsur pementasan terbagi lagi dalam beberapa bagian mislanya, komposisi pentas, tata busana, tata rias, tata lampu, tata cahaya. Di samping unsur tersebut tentu saja dua unsur pokok lainnya harus ada yaitu sutradara dan pemain.
Untuk membicarakan drama harus dipahami terlebih dahulu dari sisi apa ia ingin dibicarakan. Dipahami dari dimensi si sastranya, dimensi seni pertunjukkan atau kedua dimensi tersbut sebagai suatu kepaduan karya drama. Untuk kepentingan analisis, masing-masing dimensi di dalam drama baik sebagai seni sastra maupun seni pertunjukkan dapat dibicarakan secara terpisah. Sudut pandang dan tolok ukur penilaian masing-masing dimensi tentu saja berbeda. Satu hal yang harus dipahami bahwa keberhasilan drama pada satu dimensi belum menjamin pada dimensi lain  drama itu akan berhasil juga. Dapat diilustrasikan, jika suatu pementasan mencapai kualititas baik dan terbilang sukses belum dapat dipastikan bahwa naskah drama yang dipentaskan tersebut juga baik dari segi kualitas sastranya. Sebaliknya, sebuah drama yang baik kualitas sastranya belum menjamin bahwa jika dipentaskan akan menjadi seni pertunjukkan yang baik pula. Oleh sebab itu, untuk pemahaman totalitas terhadap drama diperlakukan pengetahuan tentang dimensi drama sebagai genre sastra dan sebagai seni pertunjukkan. Hakikat drama sebagai karya dua dimensi tersebut menyebabkan sewaktu drama ditulis, pengarang drama tersebut sudah harus memikirkan kemungkinan-kemungkinan pementasan drama. Sementara itu, sewaktu pemetasan akan dilakukan sutradara tidak mungkin menghindar begitu saja dari ketentuan-ketentuan yang terdapat di naskah.

B. Pengertian Drama
Drama merupakan tiruan kehidupan manusia yang ditampilkan di pentas. Melihat drama, penonton seolah melihat kejadian dalam masyarakat. Drama adalah potret kehidupan manusia, potret suka duka, pahit manis, dan hitam putih kehidupan.
Perkataan drama berasal dari bahasa Yunani “draomai” yang berarti  berbuat, berlaku, bertindak, atau bereaksi. Drama berarti perbuatan, tindakan atau reaksi. Dalam bahasa Indonesia terdapat istilah “sandiwara”. Istilah ini diambil dari bahasa Jawa ‘sandi’ dan ‘warah’, yang berarti pelajaran yang diberikan secara diam-diam atau rahasia. Kata ‘sandi’ berarti rahasia dan kata ‘warah’ artinya pelajaran. Istilah sandiwara radion, sandiwara televisi, sandiwara pentas menunjukkan bahwa kata sandiwara dapat menggantikan kata drama. Dalam bahasa Belanda dikenal istilah ‘tonil’ (toneel) yang mempunyai makna sama dengan istilah sandiwara (WAluya, 2011).
Dasar lakon drama adalah konflik manusia. Seluruh perjalanan drama berisi konflik antartokoh. Konflik itu terjadi antara dua pihak, yaitu tokoh yang mendukung cerita dan tokoh yang melawan arus cerita. Tokoh pendukung cerita sering disebut tokoh protagonist, sedangkan tokoh yang melawan arus cerita disebut tokoh antagonis. Konflik antara tokoh antagonis dan protagonist dalam drama dapat bersifat sangat keras dan kontras. Akan tetapi, konflik tersebut harus tetap wajar, realistis, dan logis. Artinya, pertentangan antartokoh tersebut mempunyai kemungkinan mirip atau sama dengan kehidupan di masyarakat, sehingga masih dapat dipahami oleh penonton. Konflik yang terlalu dibuat-buat justru akan mengurangi keunggulan drama.
Pengertian tentang drama yang dikenal selama ini menyebutkan bahwa drama adalah cerita atau tiruan perilaku manusia yang dipentaskan. Munculnya pengertian tersebut jika ditinjau dari makna kata drama sudah tepat.  Kata drama berasal dari  kata Yunani draomi yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, bereaksi, dan sebagainya (Harymawan, 1988:1). Jadi kata drama  berarti perbuatan atau tindakan. Berdasarkan kenyataan ini memang drama sebagai suatu pengertian  lebih difokuskan kepada dimensi genre sastranya dan sekaligus sebagai seni pertunjukan.
Drama seringkali disamakan dengan teater. Dua istilah ini memang tumpang tindih. Drama berasal dari bahasa Yunani ”draomai” yang artinya berbuat, bertindak; sementara teater berasal dari kata Yunani juga ”theatron” artinya tempat pertunjukan. Kata teater sendiri mengacu kepada sejumlah hal yaitu: drama, gedung pertunjukan, panggung pertunjukan, kelompok pemain drama, dan segala pertunjukan yang dipertontonkan. Meski demikian secara sederhana, seperti yang dikemukakan oleh Jakob Soemardjo, drama dibedakan menjadi dua, yang pertama drama naskah dan yang kedua drama pentas. Istilah yang kedua inilah, yakni drama pentas, disamakan dengan teater.
Karya sastra yang berupa dialog-dialog dan memungkin­kan untuk dipertunjukan sebagai tontonan disebut dengan drama, sedangkan karya seni berupa pertunjukan yang elemen-elemennya terdiri atas seni gerak, musik, dekorasi, make up, costum, dan lainnya disebut teater. Drama termasuk seni sastra. Teater adalah seni pertunjukan. Selain dua istilah ini, ada lagi istilah lain yang sejenis yakni sandiwara dan tonil. Sandiwara berasal dari bahasa Jawa dan tonil berasal dari bahasa Belanda.
Yang dimaksudkan dengan teks-teks drama ialah semua teks yang bersifat dialog dan yang isinya membentangkan sebuah alur (Luxemburg, 1984). Drama itu berbeda dengan prosa cerita dan puisi karena dimaksudkan untuk dipentaskan. Pementasan itu memberikan kepada drama sebuah penafsiran kedua. Sang sutradara dan para pemain menafsirkan teks, sedangkan para penonton menafsirkan versi yang telah ditafsirkan oleh para pemain. Pembaca yang membaca teks drama tanpa menyaksikan pementasannya mau tidak mau membayangkan jalur peristiwa di atas panggung. Pengarang drama pada prinsipnya memperhitungkan kesempatan ataupun pembatasan khas, akibat pementasan. Maka dari itu teks drama berkiblat pada pementasan (Luxemburg, 1984).
Dalam drama dialog-dialog merupakan bagian terpenting, dan sampai taraf tertentu ini juga berlaku bagi monolog-monolog. Pada pokoknya sebuah drama terdiri atas teks-teks para aktor, dan tak ada seorang juru cerita yang langsung menyapa para penonton. Para aktor saling menyapa. Menurut konvensi drama mereka tidak langsung menyapa para penonton, tetapi konvensi tersebut sering dilanggar, khususnya dalam drama modern (Luxemburg, 1984). Sementara itu, petunjuk-petunjuk untuk pementasan bersifat sekunder karena selama pementasan tak pernah diucapkan, tetapi dikonkretkan lewat isyarat-isyarat nonbahasa. Teks yang memuat petunjuk pementasan tersebut disebut sebagai teks samping. Di samping dialog, unsur lain sastra drama lebih mirip dengan unsur fiksi yaitu adanya alur (rangkaian cerita), tokoh dan karakternya, latar, gaya bahasa, dan tema.

C. Unsur-unsur Drama
Wujud fisik sebuah naskah drama adalah dialog atau bahasa ragam tutur. Sebagai karya sastra, drama seperti halnya puisi, cerpen, ataupun novel, memiliki unsur-unsur pembangunnya. Unsur-unsur tersebut saling menjalin membentuk kesatuan dan saling terkait satu sama lain. Unsur yang dimaksud adalah: (1) alur, (2) penokohan/perwatakan, (3) dialog, (4) latar, (5) teks samping (petunjuk teknis). Struktur batin drama adalah: (1) tema, (2) amanat. Untuk memahami secara lengkap dan terperinci, di bawah ini dijelaskan unsur-unsur struktur drama.
1. Plot atau Kerangka Cerita
Plot atau alur pada dasarnya merupakan deretan peristiwa  dalam hubungan logik dan kronologik saling berkaitan dan yang diakibatkan atau dialami oleh para pelaku (Luxemburg, 1984:1490. Dalam teks drama, alur tidak diceritakan, tetapi akan divisualkan dalam panggung. Dengan demikian, bagian  terpenting dari sebuah alur drama adalah dialog dan lakuan.
            Plot merupakan jalinan cerita atau kerangka cerita dari awal sampai akhir. Plot berisi jalinan konflik antara dua atau lebih tokoh yang belawanan. Secara umum, plot terdiri atas beberapa tahapan berikut ini.
a. Pelukisan Awal
       Tahap ini merupakan tahap pengenalan tokoh-tokoh drama. Tahap ini berisi pelukisan awal dan pengenalan tokoh dan situasi latar cerita. Tahap pelukisan awal merupakan tahap pembukaan cerita dan  pemberian informasi awal yang berguna untuk landasan cerita yang akan dikisahkan (Nurgiyantoro, 2000).
Pada tahap ini pembaca atau penonton mulai mendapat gambaran tentang tokoh, situasi atau latar cerita, dan peristiwa drama. Misalnya, dalam drama Romeo Juliet, pembaca atau penonton mulai mengenal siapa Romeo dan siapa Juliet serta mulai mengenal watak kedua tokoh tersebut. Demikian juga watak keluarga Capulet dan Montaque yang saling bertentangan. Perkenalan antara Romeo dan Juliet pada pesta di rumah Juliet merupakan kisah awal yang dapat diketahui oleh pembaca (Waluyo, 2001).
b. Pertikaian Awal
       Tahapan pemunculan konflik yang merupakan kelanjutan dari tahap pelukisan awal. Pada tahap ini masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang menyulut konflik mulai dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik. Selanjutnya, konflik awal tersebut dikembangkan menjadi konflik-konflik yang lebih besar dalam tahap berikutnya.
       Perhatikan kutipan drama Romeo Juliet yang sangat terkenal di bawah ini.
Romeo          : Kasih, demi bulan aku  bersumpah padamu.
Juliet        : Jangan bersumpah demi bulan, karena bulan berubah setiap saat. Jangan-jangan cintamu juga berubah.
Romeo          : Lalu demi apa aku harus bersumpah.
Juliet        : Jangan bersumpah. Atau jika kau ingin, bersumpahlah demi dirimu sendiri. Aku percaya padamu. Sungguh, aku sangat mempercayaimu.
Romeo          : Bagaimana bersumpah demi diri sendiri
Juliet            : Kalau begitu tidak usah bersumpah. Kuncup kasih yang bersemi ini semoga menjadi bunga yang permai.
Romeo          : .. Cinta yang kudapat akan kutorehkan segalanya. Tetapi ... aku seorang Montique.
Juliet             : Dan aku seorang Capulet? Mengapa kita punya nama? Biarlah aku menjadi bukan Capulet dan Romeo, lupakanlah bahwa dirimu Monteque.
Romeo          : Sayap cinta mempertemukan kita. Sebab itu tidak kutakuti nama.
Juliet             : Jika bertahan terhadap nama, kita akan dibunuh.
       Dialog di atas mengisahkan perkenalan Romeo dan Juliet yang berlanjut menjadi cinta yang mendalam. Percintaan itu mendapat tantangan dari kedua keluaga. Dua keluarga itu saling bermusuhan. Kisah percintaan Romeo dan Juiet itulah yang menjadi konflik awal dalam drama dan terus berlanjut ke konflik-konflik lainnya dalam rangakaian peristiwa drama (Waluyo, 2001).
c. Titik Puncak (Klimaks)
       Konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan. Konflik itu akan terus meningkat sampai mencapai klimaks atau titik puncak kegawatan dalam cerita. Klimaks dalam drama akan dialami oleh tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan atau penderita terjadinya konflik tersebut.
       Pada kisah Romeo Juliet, yang merupakan puncak peristiwa adalah peristiwa bunuh diri Romeo karena membayangkan Juliet telah mati. Selanjutnya, setelah sadar dari obat bius yang diberikan pendeta Lorenso, Juiet melihat Romeo telah mati. Akhirnya, Juliet berusaha bunuh diri dengan meminum racun dari yang telah digunakan botol Romeo.
d. Peleraian atau Antiklimaks
       Dalam tahap ini konflik mulai mereda dan ketegangan mulai menurun. Tokoh-tokoh yang memanaskan situasi atau meruncingkan cerita dalam drama sudah mulai menuju pada penyelesaian konflik. Tokoh-tokoh yang saling bertentangan telah menyadari  kesalahan dan mulai menemukan penyelesaian. Mereka sudah mengalami pencerahan batin.
e. Penyelesaian atau Akhir Cerita
       Konflik yang telah mencapai klimaks dan sudah mulai menurun diberi penyelesaian. Ketegangan antartokoh cerita dikendorkan. Konflik dan ketegangan sudah diberi jalan keluar penyelesaiannya dan cerita diakhiri.
       Kematian Juliet dengan ikut meminum racun dapat dianggap merupakan penyelesaian cerita. Juliet  bukan pergi kepada keluargannya, tetapi memilih bunuh diri bersama orang yang sangat dicintainya.
Penyajian alur dalam drama diujudkan dalam urutan babak dan adegan. Babak adalah bagian terbesar dalam sebuah lakon. Pergantian babak dalam pentas drama ditandai dengan layar yang diturunkan atau ditutup, atau lampu panggung dimatikan sejenak. Setelah lampu dinyalakan kembali atau layar dibuka kembali dimulailah babak baru berikutnya. Pergantian babak biasanya menandai pergantian latar, baik latar tempat, ruang,  maupun waktu. Adegan adalah bagian dari babak. Sebuah adegan hanya menggambarkan satu suasana. Pergantian adegan, tidak selalu disertai dengan pergantian latar. Satu babak dapat terdiri atas beberapa adegan (Harymawan, 1988).
       Struktur alur drama, yang oleh Aristoteles (lewat Harymawan, 1988) disebut sebagai alur dramatik (dramatic plot)  dibagi menjadi empat bagian, yaitu: (1) Protasis (permulaan): dijelaskan peran dan motif lakon, (2) Epitasio (jalinan kejadian), (3) Catastasis (klimaks): peristiwa mencapai titik kulminasi, dan (4) Catastrophe (penutup).
Hudson (via Brahim, 1968) menggambarkan  alur dramatik tersebut sebagai berikut:     
                                    d
                                               
                                         c                     e
                                   
                        b                                                    e
            a

a = eksposisi
b = insiden permulaan
c = pertumbuhan laku
d = krisis atau titik balik
e = penjelesaian
d = catastrope

2. Tokoh dan Watak Tokoh
a. Pengertian dan Jenis Tokoh
       istilah tokoh menunjuk pada orang sebagai pelaku cerita. Jadi tokoh adalah orang yang menjadi pelaku cerita, yang mengalami peristwa, dan yang mengalami konflik. Dalam drama biasanya dikenal tiga jenis tokoh. Tiga jenis tokoh tersebut, yaitu (1) tokoh protagonis, (2) tokoh antagonis, dan (3) tokoh tritagonis. Ketiga jenis tokoh tersebut diuraikan sebagai berikut.
1)      Tokoh Protagonis, yaitu tokoh yang mendukung cerita. Tokoh protagonis merupakan tokoh yang berada pada pihak yang benar menurut tanggapan pembaca atau penonton. Tokoh protagonis melakukan tindakan yang dianggap baik dan benar sesuai dengan norma kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pembaca atau penonton sering berpihak atau membela tokoh protagonis.
2)      Tokoh Antagonis, yaitu tokoh yang menentang cerita. Tokoh antagonis merupakan tokoh yang selalu menentang sikap dan tindakan tokoh protagonis. Tokoh antagonis berusaha menghalang-halangi keinginan tokoh protagonis. Tokoh antagonis sering melakukan perbuatan yang dianggap bertentangan dengan norma kehidupan masyarakat. Pembaca atau penonton seringkali merasa marah dan benci terhadap perilaku tokoh antagonis.
3)      Tokoh Tritagonis, yaitu tokoh pembantu, baik untuk tokoh protagonis maupun untuk tokoh antagonis. Dalam drama, biasanya ada satu atau dua tokoh utama (protagonis) yang dibantu oleh tokoh lain yang ikut terlibat sebagai pendukung cerita. Demikian pula halnya tokoh antagonis juga sering dibantu oleh tokoh lain dalam menjalankan perilaku jahatnya.
b. Perwatakan
       Tokoh-tokoh dalam drama harus memiliki watak. Istilah watak mengandung pengertian sifat dan sikap para tokoh. Watak tokoh berkaitan dengan kualitas pribadi seseorang.
       Watak para tokoh digambarkan dalam tiga dimensi, yaitu (1) dimensi fisik, (2) dimensi psikis, dan (3) dimensi sosial. Penggambaran watak tokoh itu berdasarkan keadaan fisik (sisiologis), kondisi kejiwaan (psikologis), dan kondisi sosial (sosiologis). Keadan fisik tokoh, misalnya: umur, jenis kelamin, ciri-ciri tubuh, cacat jasmani, ciri khas yang menonjol, bentuk tubuh, dan roman muka. Aspek psikis tokoh meliputi watak, minat, kegemaran, temperamen, ambisi, dan keadaan emosi. Selanjutnya, keadaan sosiologis antara lain: jabatan, pekerjaan, suku, ras, agama, status sosial, keadaan ekonomi, dan tingkat pendidikan. Dalam drama, keadaan fisik, psikis, dan sosiologis tersebut dapat digunakan untuk mengenali watak seorang tokoh.
Tokoh dalam drama mengacu pada watak (sifat-sifat pribadi seorang pelaku, sementara aktor atau pelaku mengacu pada peran yang bertindak atau berbicara dalam hubungannya dengan alur peristiwa.
       Cara mengemukakan watak di dalam drama lebih banyak bersifat tidak langsung, tetapi melalui dialog dan lakuan. Hal ini berbeda dengan yang terjadi dalam novel, watak tokoh cenderung disampaikan secara langsung. Dalam drama, watak pelaku dapat diketahui dari  perbuatan dan tindakan yang mereka lakukan, dari reaksi mereka terhadap sesuatu situasi tertentu terutama situasi-situasi yaang kritis, dari sikap mereka menghadapi suatu situasi atau peristiwa atau watak tokoh lain (Brahim,1968:92).
 Di samping itu, watak juga terlihat dari kata-kata yang diucapkan. Dalam hal ini ada dua cara untuk mengungkapkan watak lewat kata-kata (dialog). Yang pertama, dari kata-kata yang diucapkan sendiri oleh pelaku dalam percakapannya dengan pelaku lain. Kedua, melalui kata-kata yang diucapkan pelaku lain mengenai diri pelaku tertentu (Brahim, 1968:91).
Sama seperti yang ada dalam teori fiksi, tokoh dalam drama juga perlu dipahami  secara tiga dimensi, yaitu dimensi fisiologis, sosiologis, dan psikologis. Dimensi fisiologis meliputi usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, dan ciri-ciri muka, dan sebagainya. Dimensi sosiologis meliputi status sosial, pekerjaan, jabatan,perana di dalam maaasyarakat, pendidikan, agama, pandangan hidup, ideologi, aktivitas sosial, organisasi, hoby, bangsa, suku, dan keturunan. Dimensi psikologis meliputi mentalitas, ukuran moral, keinginan dan perasaan pribadi, sikap dan kelakuan (temperamen), juga intelektualitasnya (IQ).

3. Dialog
       Ciri khas suatu drama adalah naskah atau teks yang berbentuk cakapan atau dialog. Ragam bahasa dalam dialog tokoh-tokoh  drama adalah bahasa lisan yang komunikatif, karena dialog itulah yang akan diucapkan di pentas. Dialog dalam drama mencerminkan kegiatan pembicaraan sehari-hari. Hal itu bisa dilihat dari pilihan kata, panjang dan pendek kalimat, dan bentuk kalimat berupa kalimat langsung, dan panjang pendeknya kalimat dapat berpengaruh pada irama drama (Waluyo, 2011:21). Dialog dalam drama juga harus hidup. Dialog tersebut juga harus mewakili kondisi kejiwaan atau watak tokoh.
Perhatikan contoh dialog berikut ini:
Petugas I     : Sipir, sini kuncinya.
Sipir             : Ini, Pak.
Petugas I  : Awas, kalau sampai pintu itu terbuka olehku, bukan Cuma pencopet  itu yang meringkuk di situ, tetapi kamu juga.
Sipir             : Tidak bisa kan Pak?
Petugas I     : Bener kuncinya ini?
Sipir           : Bener, itu kuncinya Pak. Dari dulu sudah saya jadikan satu gitu kok. Dan nomernya 12. Pas kan, kunci itu juga no. 12. tapi ...
Napi             : Kunci yang macam manapun tidak akan bisa membuka pintu itu.
Petugas I     : Hei! Maksud kamu apa?
Petugas II    : Menghina ya?
Petugas I     : Sebentar (kepada petugas I)
                      Hei, begejil maksud kamu apa? Menghina kami.
                                                                                          (Napi, karya Hajad Sarwoko)
Dalam drama ada dua macam cakapan, yaitu dialog dan monolog. Disebut dialog ketika ada dua orang atau lebih tokoh bercakap-cakap. Disebut monolog ketika seorang tokoh bercakap-cakap dengan dirinya sendiri. Selanjutnya, monolog dapat dibedakan lagi menjadi tiga macam, yaitu monolog yang membicarakan hal-hal yang sudah lampau, soliloqui  yang membicarakan hal-hal yang akan datang, daan aside (sampingan) untuk menyebut percakapan seorang diri yang ditujukan kepada penonton (audience) (Supartinah & Indratmo,1991). Dialog dan monolog merupakan bagian penting dalam drama, karena hampir sebagian besar teks drama didominasi oleh dialog dan monolog. Itulah yang membedakan teks drama dengan novel dan puisi.

4. Latar atau Tempat Kejadian
       Latar atau seting yaitu tempat, hubungan waktu dan lingkungan  sosial tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan. Latar atau setting dapat menjadi pijakan agar cerita dapat hadir secara konkrit dan jelas. Latar dapat membantu pembaca atau penonton mengenal dan memahami di mana dan kapan peristiwa dalam cerita itu terjadi (Nurgiyantoro, 2001).
       Dalam drama, latar tempat tidak berdiri sendiri, tetapi berhubungan dengan waktu dan ruang. Sebagai contoh, tempat di Jakarta, tahun berapa, di luar atau di dalam rumah. Keterkaitan itulah yang membantu penonton atau pembaca untuk dapat membayangkan tempat kejadian secara nyata.

5. Tema Cerita
       Tema merupakan pokok pikiran dalam sebuah keseluruhan wacana. Dalam sastra, tema merupakan makna yang dikandung dalam sebuah cerita. Namun, dalam sebuah cerita terdapat banyak sub-sub tema yang menjadi bagian dari tema umum (besar). Sebagai contoh, pada novel Salah Asuhan, terdapat beberapa subtema, seperti (1) masalah kawin paksa, (2) masalah penolakan ”payung” (kebangsaan) sendiri dan menganggap  menjadi warga asing lebih memiliki prestesi, dan (4) kesalahan mendidik yang berakibat fatal. Dari keempat tema tersebut dilakukan penelusuran kembali berdasarkan kriteria makna utama secara keseluruhan. Dengan demikian, tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum sebuah novel (Nurgiyantoro, 2000:67).
       Tema merupakan rumusan intisari cerita sebagai landasan idiil dalam menentukan arah tujuan cerita  (Harymawan, 1988:24). Sementara itu, amanat pada  dasarnya merupa­kan pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau penonton. Dalam hal ini, tema dan amanat dapat ditetntukan setelah kita memahami keseluruhan unsur drama.       
       Dalam upaya menemukan dan menafsirkan tema, terdapat sejumlah kriteria, yang sifatnya tentatif, yang dapat dipakai sebagai pegangan. Pertama, penafsiran itu hendaknya mempertimbangkan tiap detil cerita yang tampak ditonjolkan (foregrounded). Kriteria ini merupakan kriteria utama. Jadi, tugas pertama yang harus dilakukan oleh pembaca dalam rangka mengenali tema ialah menentukan atau menemukan pengedepanan atau tonjolan itu. Melalui detil-detil yang ditonjolkan itu pada umumnya sesuatu yang ingin disampaikan pegarang diekspresikan. Kedua, penafsiran tema hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detil ceritera. Drama, sebagai salah satu jenis kaarya sastra, pada hakikatnya merupakan sebuah sarana yang dipakai pengarang untuk mengungkapkan keyakinan, kebenaran, gagasan, sikap, dan pandangan hidupnya. Ketiga,  penafsiran tema haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara langsung ada atau yang diisyaratkan dalam ceritera. Penunjukkan tema sebuah ceritera haruslah dapat dibuktikan melalui data-data atau detil-detil ceritera yang terdapat dalam karya itu secara keseluruhan, baik yang berupa bukti langsung maupun yang tidak langsung. Yang pertama, misalnya, berupa kata-kata yang ditemukan di dalam karya, sedangkan yang kedua berupa penafsiran terhadap kata-kata itu. Dalam sebuah drama kadang-kadang dapat ditemui adanya data-data tertentu, misalnya yang berupa kata-kata, kalimat, alinea, atau dialog-dialog yang dapat dipandang sebagai bentuk yang mencerminkan tema pokok karya yang bersangkutan (Sayuti, 2003). 

6. Pesan atau Amanat
       Karya sastra yang di dalamnya mengandung tema, sesungguhnya merupakan  suatu penafsiran atau pemikiran tentang kehidupan. Permasalahan yang terkandung di dalam tema atau topik cerita adakalnya diselesaikan secara positif (happy ending), ada kalanya secara negatif. Di dalam Sitti Nurbaya, yang bertemakan adat, misalnya kedua belah pihak yang bertentangan meninggal dunia. Tidak sedikit cerita rekaan yang membiarkan masalah ”menggantung” tanpa penyelesaian; cerita berakhir tetapi masalah tak terpecahkan seperti di dalam Belenggu.
       Dari sebuah karya sastra ada kalanya dapat diangkat suatu ajaran moral atay pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang, itulah yang disebut amanat. Jika permasalahan yang diajukan dalam cerita juga diberi jalan keluarnya oleh pengarang, maka jalan keluar itulah yang disebut amanat. Amanat terdapat pada sebuah karya sastra dapat disampaikan secara eksplisit maupun implisit.

7. Peristiwa
       Peristiwa atau kejadian merupakan salah satu unsur drama. Dengan kata lain, apa yang ditulis dan dipentaskan dalam drama pada hakikatnya adalah rangkaian peristiwa. Rangkaian peristiwa itulah yang kemudian dikenal dengan istilah adegan. Peristiwa itu sendiri dapat berupa tindakan atau aksi (actions) dan kejadian (happening). Peristiwa yang berupa aksi (action) yakni peristiwa yang berupa tindakan manusia baik verbal mupun nonverbal. Sementara itu, peristiwa yang berupa kejadian (happening) adalah peristiwa yang bukan merupakan hasil tindakan dan tingkah laku manusia, misalnya peristiwa alam (Nurgiyantoto, 2000:26).
       Dalam memahami peristiwa di dalam drama harus disadari sepenuhnya bahwa peristiwa itu tidak terjadi begitu saja, secara tiba-tiba atau serta merta. Setiap peristiwa yang berlaku atau terjadi selalu mempunyai hubungan sebab akibat. Sesuatu peristiwa akan terjadi jika disebabkan oleh sesuatu hal atau hal yang menjadi alasan mengapa peristiwa itu terjadi. Di samping itu, setiap  peristiwa yang berlaku akan menimbulkan akibat tertentu yang mungkin saja berupa munculnya peristiwa-peristiwa baru.
       Peristiwa dalam drama terjadi karena didukung oleh tokoh, yakni apa yang dilakukan tokoh itu. Oleh sebab itu, untuk memahami peristiwa dalam drama adalah dengan memperhatikan tindakan-tindakan dan perbuatan para tokoh. Selanjutnya, sebagaimana dipahami, tokoh itu sendiri dapat dianalogikan dengan keberadaan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, tindakan atau perilaku apa yang dilakukan oleh tokoh tentu saja terjadi pada suatu tempat tertentu dan waktu tertentu. Pendek kata, sebuah peristiwa pasti berhubungan dengan tiga unsur, yaitu pelaku (yang melakukan dan mengalami peristiwa), tempat (dimana peristiwa itu terjadinya), dan waktu (kapan peristiwa itu terjadi) (Hasanudin, 1996:85-87).

8. Petunjuk Teknis atau Teks Samping
       Dalam naskah drama diperlukan petunjuk teknis atau yang sering disebut teks samping. Teks samping berisi petunjuk teknis tentang tokoh dan tindakannya, waktu, suasana pentas, suara, musik, keluar masuknya aktor, deskripsi tempat. Teks samping biasanya ditulis berbeda dengan teks dialog, misalnya: ditulis miring, ditulis dalam kurung, dicetak tebal, atau ditulis dalam huruf kapital semua.
Perhatikan penggalan teks drama berikut.
Jaksa. Pada tanggal sekian, bulan sekian, tahun sekian, hari ini, di tempat anu, pemuda, Muhammad ali telah membunuh seorang wanita dengan keji. Maka, atas nama keadilan kami tuntut agar pemuda ini dihukum lima belas tahun atau dua puluh tahun. Itulah tuntutan kami.

Hakim        : Betul Saudara melakukan itu?
Pemuda      : Tidak
Hakim        : Apakah  Saudara punya bukti-bukti?
Jaksa           : Beberapa orang saksi.
Hakim        : Mereka mau disumpah 
Lima orang perempuan muncul dengan segala potongannya
....................................... ....................................... .......................................                        
(Dikutip dari DOR karya Putu Wijaya)

            Teks samping berguna bagi aktor dan sutradara kepentingan persiapan pementasan. Petunjuk teknis yang lengkap akan mempermudah sutradara dalam menafsirkan naskah. Petunjuk tentang watak, usia, keadaan social tokoh, dan tempat kejadian, dapat mempermudah sutradara untuk menentukan pemain dan mempersiapkan perlengkapan pementasan.



Drs. H. Erawan Aidid, M.Pd.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar