D R A M A
A. Hakikat Drama
Sebagai suatu genre sastra drama
mempunyai kekhususan dibanding dengan genre puisi ataupun genre fiksi. Kekhususan drama disebabkan tujuan drama
ditulis pengarangnya tidak hanya berhenti sampai pada tahap pembeberan
peristiwa untuk dinikmati secara artistik imajinatif oleh para pembacanya,
namun mesti diteruskan untuk kemungkinan dapat dipertontonkan dalam suatu
penapilan gerak dan perilaku konkret yang dapat disaksikan. Kekhususan drama
inilah yang kemudian menyebabkan pengertian drama sebagai suatu genre sasta
lebih terfokus sebagai suatu karya yang lebih beroreintasi kepada seni
pertunjukan, dibandingkan sebagai genre sastra.
Sebagai sebuah karya yang mempunyai
dua dimensi, dimensi sastra dan dimensi seni pertunjukkan, maka pementasan
drama harus dianggap sebagai penafsiran dari penafsiran yang telah ada yang
dapat ditarik dari suatu karya drma. Dengan kata lain penafsiran itu memberikan
kepada drama sebuah penafsiran kedua (Luxemburg, 1984:158). Maksud dari
pernyataan ini adalah, pementasan baru dimungkinkan terjadi jika teks drama
telah dan ditafsirkan oleh sutradara dan para pemain untuk kepentingan suatu
seni pera yang didukung oleh perangkat panggung, seperti dekor, kostum, tata
panggung, tata rias, tata cahaya, dan tata musik.
Sesuatu yang terjadi di atas
panggung, tidak termasuk pada teori drama sebagai genre sastra, melainkan
kepada ilmu drama sebagai suatu seni pertunjukkan, yang oleh banyak pihak pada
saat ini disebut dengan istilah teater. Dengan demikian, hasil penafsiran
sutradara dan pemain yang kemudian menjadi suatu seni pertunjukkan dari suatu
teks drama memberikan pemahaman lain bagi peneliti atau mereka yang sedang
meneliti teks drama, di samping pemahaman yang telah dimiliki dari pembacaan
teks drama.
Sebagai sebuah genre sastra, drma
memungkinkan ditulis dalam bahasa yang memikat dan mengesankan. Drama dapat
ditulis oleh pengarangnya dengan mempergunakan bahasa sebagaimana sebuah
sajak. Penuh irama dan kaya akan bunyi yang
indah, namun sekaligus menggambarkan watak-watak manusia secara tajam, serta
menampilkan peristiwa yang penuh kejutan (suspense) (Sumardjo, 1984:127).
Satu hal yang menjadi ciri drama
adalah semua kemungkinan itu harus ditampilkan dalam bentuk dialog-dialog dari
para tokoh. Oleh karena itulah, seorang pembaca yang membaca suatu teks drama
tanpa tanpa menyaksikan pementasan drama tersebut mau tidak mau harus
membayangkan jalur peristiwa di atas pentas. Sebagaimana yang dikemukakan
Luxemburg, dkkk (1984:158) pengarang pada prinsipnya memperhitungkan kesempatan
ataupun pembatasan khusus, akibat adanya orientasi untuk kepentingan
pementasan. Artinya, bagaimanapun
pengarang drma telah memilih bahasa sebagai pengucapan dramanya, ia tetap tidak
dapat sebebas pengarang fiksi atau penulis fiksi atau penulis sajak. Cara
pengungkapan melalui dialog sebagai ciri utama drama inilah yang memberikan
pembatasan yang dimaksud. Kelebihan drama dibandingkan dengan genre fiksi dan
genre puisi, terletak pada pementasannya. Penikmat akan menyaksikan secara
langsung pengalaman yang diungkapan pengarang. Penikmat benar-benar menyaksikan
peristiwa yang ditampilkan di atas panggung. Akibatnya terhadap penikmat akan
lebih mendalam, lebih pekat dan lebih intens.
Sebagai sebuah genre sastra, drama
dibangun dan dibentuk oleh unsur-unsur sebagaimana terlihat dalam genre sastra
lainnya, terutam agenre fiksi. Secara umum sebagaimana fiksi, terdapat unsur
yang membentuk dan membangun dari dalam karya itu sendiri (intrinsik) dan unsur
yang mempengaruhi penciptaan karya yang tentunya berasal dari luar karya
(ekstrinsik). Dengan demikian, kapasitas drama sebagai karya sastra haruslah
dipahami bahwa drama tidak hadir begitu saja. Sebagai karya kreatif
kemunculannya disebabkan oleh banyak hal. Kreativitas pengarang dan realitas
objektif (kenyataan semesta) sebagai unsur ekstrinsik mempengaruhi penciptaan
drama. Sementara itu, dari dalam karya itu sendiri cerita dibentuk oleh
unsur-unsur penokohan, alur, latar, konflik-konflik, tema dan amantar, serta
aspek gaya bahasa.
Selanjutnya, drama sebagai seni
pertunjukkan hanya dibentuk dan dibangun oleh unsur-unsur yang menyebabkan
suatu pertunjukan dapat terlaksana dan terselenggara. Menurut Damono (1983:114)
ada tiga unsur yang merupakan satu kesatuan yang menyebabkan drama dapat
dipertunjukkan. Unsur yang dimaksud yaitu (1) unsur naskah, (2) unsur
pementasan, dan (3) unsur penonton. Kehilangan satu di antaranya mustahil drama
akan menjadi suatu pertunjukkan. Pada unsur pementasan terbagi lagi dalam
beberapa bagian mislanya, komposisi pentas, tata busana, tata rias, tata lampu,
tata cahaya. Di samping unsur tersebut tentu saja dua unsur pokok lainnya harus
ada yaitu sutradara dan pemain.
Untuk membicarakan drama harus
dipahami terlebih dahulu dari sisi apa ia ingin dibicarakan. Dipahami dari dimensi
si sastranya, dimensi seni pertunjukkan atau kedua dimensi tersbut sebagai
suatu kepaduan karya drama. Untuk kepentingan analisis, masing-masing dimensi
di dalam drama baik sebagai seni sastra maupun seni pertunjukkan dapat
dibicarakan secara terpisah. Sudut pandang dan tolok ukur penilaian masing-masing
dimensi tentu saja berbeda. Satu hal yang harus dipahami bahwa keberhasilan
drama pada satu dimensi belum menjamin pada dimensi lain drama itu akan berhasil juga. Dapat
diilustrasikan, jika suatu pementasan mencapai kualititas baik dan terbilang
sukses belum dapat dipastikan bahwa naskah drama yang dipentaskan tersebut juga
baik dari segi kualitas sastranya. Sebaliknya, sebuah drama yang baik kualitas
sastranya belum menjamin bahwa jika dipentaskan akan menjadi seni pertunjukkan
yang baik pula. Oleh sebab itu, untuk pemahaman totalitas terhadap drama
diperlakukan pengetahuan tentang dimensi drama sebagai genre sastra dan sebagai
seni pertunjukkan. Hakikat drama sebagai karya dua dimensi tersebut menyebabkan
sewaktu drama ditulis, pengarang drama tersebut sudah harus memikirkan
kemungkinan-kemungkinan pementasan drama. Sementara itu, sewaktu pemetasan akan
dilakukan sutradara tidak mungkin menghindar begitu saja dari
ketentuan-ketentuan yang terdapat di naskah.
B.
Pengertian Drama
Drama merupakan tiruan kehidupan
manusia yang ditampilkan di pentas. Melihat drama, penonton seolah melihat
kejadian dalam masyarakat. Drama adalah potret kehidupan manusia, potret suka
duka, pahit manis, dan hitam putih kehidupan.
Perkataan drama berasal dari bahasa
Yunani “draomai” yang berarti berbuat,
berlaku, bertindak, atau bereaksi. Drama berarti perbuatan, tindakan atau
reaksi. Dalam bahasa Indonesia terdapat istilah “sandiwara”. Istilah ini
diambil dari bahasa Jawa ‘sandi’ dan ‘warah’, yang berarti pelajaran yang
diberikan secara diam-diam atau rahasia. Kata ‘sandi’ berarti rahasia dan kata
‘warah’ artinya pelajaran. Istilah sandiwara radion, sandiwara televisi, sandiwara pentas menunjukkan bahwa
kata sandiwara dapat menggantikan kata drama. Dalam bahasa Belanda dikenal
istilah ‘tonil’ (toneel) yang mempunyai makna sama dengan istilah sandiwara
(WAluya, 2011).
Dasar lakon drama adalah konflik
manusia. Seluruh perjalanan drama berisi konflik antartokoh. Konflik itu terjadi
antara dua pihak, yaitu tokoh yang mendukung cerita dan tokoh yang melawan arus
cerita. Tokoh pendukung cerita sering disebut tokoh protagonist, sedangkan
tokoh yang melawan arus cerita disebut tokoh antagonis. Konflik antara tokoh
antagonis dan protagonist dalam drama dapat bersifat sangat keras dan kontras.
Akan tetapi, konflik tersebut harus tetap wajar, realistis, dan logis. Artinya,
pertentangan antartokoh tersebut mempunyai kemungkinan mirip atau sama dengan
kehidupan di masyarakat, sehingga masih dapat dipahami oleh penonton. Konflik
yang terlalu dibuat-buat justru akan mengurangi keunggulan drama.
Pengertian tentang drama yang
dikenal selama ini menyebutkan bahwa drama adalah cerita atau tiruan perilaku
manusia yang dipentaskan. Munculnya pengertian tersebut jika ditinjau dari
makna kata drama sudah tepat. Kata drama
berasal dari kata Yunani draomi
yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, bereaksi, dan sebagainya (Harymawan,
1988:1). Jadi kata drama berarti
perbuatan atau tindakan. Berdasarkan kenyataan ini memang drama sebagai suatu
pengertian lebih difokuskan kepada
dimensi genre sastranya dan sekaligus sebagai seni pertunjukan.
Drama seringkali disamakan dengan teater. Dua
istilah ini memang tumpang tindih. Drama berasal dari bahasa Yunani ”draomai”
yang artinya berbuat, bertindak; sementara teater berasal dari kata Yunani juga
”theatron” artinya tempat pertunjukan. Kata teater sendiri mengacu kepada
sejumlah hal yaitu: drama, gedung pertunjukan, panggung pertunjukan, kelompok
pemain drama, dan segala pertunjukan yang dipertontonkan. Meski demikian secara
sederhana, seperti yang dikemukakan oleh Jakob Soemardjo, drama dibedakan
menjadi dua, yang pertama drama naskah dan yang kedua drama pentas. Istilah
yang kedua inilah, yakni drama pentas, disamakan dengan teater.
Karya sastra yang berupa dialog-dialog dan
memungkinkan untuk dipertunjukan sebagai tontonan disebut dengan drama,
sedangkan karya seni berupa pertunjukan yang elemen-elemennya terdiri atas seni
gerak, musik, dekorasi, make up, costum, dan lainnya disebut teater. Drama
termasuk seni sastra. Teater adalah seni pertunjukan. Selain dua istilah ini,
ada lagi istilah lain yang sejenis yakni sandiwara dan tonil. Sandiwara berasal
dari bahasa Jawa dan tonil berasal dari bahasa Belanda.
Yang dimaksudkan dengan teks-teks drama ialah semua teks yang bersifat
dialog dan yang isinya membentangkan sebuah alur (Luxemburg, 1984). Drama itu
berbeda dengan prosa cerita dan puisi karena dimaksudkan untuk dipentaskan.
Pementasan itu memberikan kepada drama sebuah penafsiran kedua. Sang sutradara
dan para pemain menafsirkan teks, sedangkan para penonton menafsirkan versi
yang telah ditafsirkan oleh para pemain. Pembaca yang membaca teks drama tanpa
menyaksikan pementasannya mau tidak mau membayangkan jalur peristiwa di atas
panggung. Pengarang drama pada prinsipnya memperhitungkan kesempatan ataupun
pembatasan khas, akibat pementasan. Maka dari itu teks drama berkiblat pada
pementasan (Luxemburg, 1984).
Dalam drama dialog-dialog merupakan bagian
terpenting, dan sampai taraf tertentu ini juga berlaku bagi monolog-monolog.
Pada pokoknya sebuah drama terdiri atas teks-teks para aktor, dan tak ada
seorang juru cerita yang langsung menyapa para penonton. Para aktor saling
menyapa. Menurut konvensi drama mereka tidak langsung menyapa para penonton,
tetapi konvensi tersebut sering dilanggar, khususnya dalam drama modern
(Luxemburg, 1984). Sementara itu, petunjuk-petunjuk untuk pementasan bersifat
sekunder karena selama pementasan tak pernah diucapkan, tetapi dikonkretkan
lewat isyarat-isyarat nonbahasa. Teks yang memuat petunjuk pementasan tersebut
disebut sebagai teks samping. Di samping dialog, unsur lain sastra drama lebih
mirip dengan unsur fiksi yaitu adanya alur (rangkaian cerita), tokoh dan
karakternya, latar, gaya bahasa, dan tema.
C. Unsur-unsur
Drama
Wujud fisik sebuah naskah drama adalah dialog atau
bahasa ragam tutur. Sebagai karya sastra, drama seperti halnya puisi, cerpen,
ataupun novel, memiliki unsur-unsur pembangunnya. Unsur-unsur tersebut saling menjalin
membentuk kesatuan dan saling terkait satu sama lain. Unsur yang dimaksud
adalah: (1) alur, (2) penokohan/perwatakan, (3) dialog, (4) latar, (5) teks
samping (petunjuk teknis). Struktur batin drama adalah: (1) tema, (2) amanat. Untuk
memahami secara lengkap dan terperinci, di bawah ini dijelaskan unsur-unsur
struktur drama.
1. Plot atau Kerangka Cerita
Plot atau alur pada dasarnya merupakan deretan
peristiwa dalam hubungan logik dan
kronologik saling berkaitan dan yang diakibatkan atau dialami oleh para pelaku
(Luxemburg, 1984:1490. Dalam teks drama, alur tidak diceritakan, tetapi akan
divisualkan dalam panggung. Dengan demikian, bagian terpenting dari sebuah alur drama adalah
dialog dan lakuan.
Plot merupakan jalinan
cerita atau kerangka cerita dari awal sampai akhir. Plot berisi jalinan konflik
antara dua atau lebih tokoh yang belawanan. Secara umum, plot terdiri atas
beberapa tahapan berikut ini.
a. Pelukisan Awal
Tahap
ini merupakan tahap pengenalan tokoh-tokoh drama. Tahap ini berisi pelukisan
awal dan pengenalan tokoh dan situasi latar cerita. Tahap pelukisan awal
merupakan tahap pembukaan cerita dan
pemberian informasi awal yang berguna untuk landasan cerita yang akan
dikisahkan (Nurgiyantoro, 2000).
Pada tahap ini pembaca atau
penonton mulai mendapat gambaran tentang tokoh, situasi atau latar cerita, dan
peristiwa drama. Misalnya, dalam drama Romeo Juliet, pembaca atau penonton
mulai mengenal siapa Romeo dan siapa Juliet serta mulai mengenal watak kedua
tokoh tersebut. Demikian juga watak keluarga Capulet dan Montaque yang saling
bertentangan. Perkenalan antara Romeo dan Juliet pada pesta di rumah Juliet
merupakan kisah awal yang dapat diketahui oleh pembaca (Waluyo, 2001).
b. Pertikaian Awal
Tahapan
pemunculan konflik yang merupakan kelanjutan dari tahap pelukisan awal. Pada
tahap ini masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang menyulut konflik mulai
dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik.
Selanjutnya, konflik awal tersebut dikembangkan menjadi konflik-konflik yang
lebih besar dalam tahap berikutnya.
Perhatikan
kutipan drama Romeo Juliet yang sangat terkenal di bawah ini.
Romeo : Kasih, demi bulan aku bersumpah padamu.
Juliet : Jangan bersumpah demi bulan,
karena bulan berubah setiap saat. Jangan-jangan cintamu juga berubah.
Romeo : Lalu demi apa aku harus bersumpah.
Juliet : Jangan bersumpah. Atau jika kau
ingin, bersumpahlah demi dirimu sendiri. Aku percaya padamu. Sungguh, aku
sangat mempercayaimu.
Romeo : Bagaimana bersumpah demi diri
sendiri
Juliet : Kalau begitu tidak usah
bersumpah. Kuncup kasih yang bersemi ini semoga menjadi bunga yang permai.
Romeo : .. Cinta yang kudapat akan kutorehkan
segalanya. Tetapi ... aku seorang Montique.
Juliet : Dan aku seorang Capulet? Mengapa
kita punya nama? Biarlah aku menjadi bukan Capulet dan Romeo, lupakanlah bahwa
dirimu Monteque.
Romeo : Sayap cinta mempertemukan kita.
Sebab itu tidak kutakuti nama.
Juliet : Jika bertahan terhadap nama, kita
akan dibunuh.
Dialog
di atas mengisahkan perkenalan Romeo dan Juliet yang berlanjut menjadi cinta
yang mendalam. Percintaan itu mendapat tantangan dari kedua keluaga. Dua
keluarga itu saling bermusuhan. Kisah percintaan Romeo dan Juiet itulah yang
menjadi konflik awal dalam drama dan terus berlanjut ke konflik-konflik lainnya
dalam rangakaian peristiwa drama (Waluyo, 2001).
c. Titik Puncak (Klimaks)
Konflik
yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang.
Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan
menegangkan. Konflik itu akan terus meningkat sampai mencapai klimaks atau
titik puncak kegawatan dalam cerita. Klimaks dalam drama akan dialami oleh
tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan atau penderita terjadinya konflik
tersebut.
Pada
kisah Romeo Juliet, yang merupakan puncak peristiwa adalah peristiwa bunuh diri
Romeo karena membayangkan Juliet telah mati. Selanjutnya, setelah sadar dari
obat bius yang diberikan pendeta Lorenso, Juiet melihat Romeo telah mati.
Akhirnya, Juliet berusaha bunuh diri dengan meminum racun dari yang telah
digunakan botol Romeo.
d. Peleraian atau Antiklimaks
Dalam
tahap ini konflik mulai mereda dan ketegangan mulai menurun. Tokoh-tokoh yang
memanaskan situasi atau meruncingkan cerita dalam drama sudah mulai menuju pada
penyelesaian konflik. Tokoh-tokoh yang saling bertentangan telah menyadari kesalahan dan mulai menemukan penyelesaian.
Mereka sudah mengalami pencerahan batin.
e. Penyelesaian atau Akhir
Cerita
Konflik
yang telah mencapai klimaks dan sudah mulai menurun diberi penyelesaian.
Ketegangan antartokoh cerita dikendorkan. Konflik dan ketegangan sudah diberi
jalan keluar penyelesaiannya dan cerita diakhiri.
Kematian
Juliet dengan ikut meminum racun dapat dianggap merupakan penyelesaian cerita.
Juliet bukan pergi kepada keluargannya,
tetapi memilih bunuh diri bersama orang yang sangat dicintainya.
Penyajian alur dalam drama
diujudkan dalam urutan babak dan adegan. Babak adalah bagian terbesar dalam
sebuah lakon. Pergantian babak dalam pentas drama ditandai dengan layar yang
diturunkan atau ditutup, atau lampu panggung dimatikan sejenak. Setelah lampu
dinyalakan kembali atau layar dibuka kembali dimulailah babak baru berikutnya.
Pergantian babak biasanya menandai pergantian latar, baik latar tempat,
ruang, maupun waktu. Adegan adalah
bagian dari babak. Sebuah adegan hanya menggambarkan satu suasana. Pergantian
adegan, tidak selalu disertai dengan pergantian latar. Satu babak dapat terdiri
atas beberapa adegan (Harymawan, 1988).
Struktur
alur drama, yang oleh Aristoteles (lewat Harymawan, 1988) disebut sebagai alur
dramatik (dramatic plot) dibagi menjadi empat bagian, yaitu: (1) Protasis
(permulaan): dijelaskan peran dan motif lakon, (2) Epitasio (jalinan
kejadian), (3) Catastasis (klimaks): peristiwa mencapai
titik kulminasi, dan (4) Catastrophe (penutup).
Hudson (via Brahim, 1968) menggambarkan
alur dramatik tersebut sebagai berikut:
d
c e
b e
a
a = eksposisi
b = insiden
permulaan
c =
pertumbuhan laku
d = krisis
atau titik balik
e = penjelesaian
d = catastrope
2. Tokoh dan Watak Tokoh
a. Pengertian dan Jenis Tokoh
istilah
tokoh menunjuk pada orang sebagai pelaku cerita. Jadi tokoh adalah orang yang
menjadi pelaku cerita, yang mengalami peristwa, dan yang mengalami konflik.
Dalam drama biasanya dikenal tiga jenis tokoh. Tiga jenis tokoh tersebut, yaitu
(1) tokoh protagonis, (2) tokoh antagonis, dan (3) tokoh tritagonis. Ketiga
jenis tokoh tersebut diuraikan sebagai berikut.
1) Tokoh Protagonis, yaitu tokoh yang
mendukung cerita. Tokoh protagonis merupakan tokoh yang berada pada pihak yang
benar menurut tanggapan pembaca atau penonton. Tokoh protagonis melakukan
tindakan yang dianggap baik dan benar sesuai dengan norma kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu, pembaca atau penonton sering berpihak atau membela tokoh
protagonis.
2) Tokoh Antagonis, yaitu tokoh yang
menentang cerita. Tokoh antagonis merupakan tokoh yang selalu menentang sikap
dan tindakan tokoh protagonis. Tokoh antagonis berusaha menghalang-halangi
keinginan tokoh protagonis. Tokoh antagonis sering melakukan perbuatan yang
dianggap bertentangan dengan norma kehidupan masyarakat. Pembaca atau penonton
seringkali merasa marah dan benci terhadap perilaku tokoh antagonis.
3) Tokoh Tritagonis, yaitu tokoh pembantu,
baik untuk tokoh protagonis maupun untuk tokoh antagonis. Dalam drama, biasanya
ada satu atau dua tokoh utama (protagonis) yang dibantu oleh tokoh lain yang
ikut terlibat sebagai pendukung cerita. Demikian pula halnya tokoh antagonis
juga sering dibantu oleh tokoh lain dalam menjalankan perilaku jahatnya.
b. Perwatakan
Tokoh-tokoh
dalam drama harus memiliki watak. Istilah watak mengandung pengertian sifat dan
sikap para tokoh. Watak tokoh berkaitan dengan kualitas pribadi seseorang.
Watak
para tokoh digambarkan dalam tiga dimensi, yaitu (1) dimensi fisik, (2) dimensi
psikis, dan (3) dimensi sosial. Penggambaran watak tokoh itu berdasarkan
keadaan fisik (sisiologis), kondisi kejiwaan (psikologis), dan kondisi sosial
(sosiologis). Keadan fisik tokoh, misalnya: umur, jenis kelamin, ciri-ciri
tubuh, cacat jasmani, ciri khas yang menonjol, bentuk tubuh, dan roman muka.
Aspek psikis tokoh meliputi watak, minat, kegemaran, temperamen, ambisi, dan
keadaan emosi. Selanjutnya, keadaan sosiologis antara lain: jabatan, pekerjaan,
suku, ras, agama, status sosial, keadaan ekonomi, dan tingkat pendidikan. Dalam
drama, keadaan fisik, psikis, dan sosiologis tersebut dapat digunakan untuk
mengenali watak seorang tokoh.
Tokoh dalam drama mengacu pada watak (sifat-sifat pribadi seorang
pelaku, sementara aktor atau pelaku mengacu pada peran yang bertindak atau
berbicara dalam hubungannya dengan alur peristiwa.
Cara mengemukakan watak di dalam drama
lebih banyak bersifat tidak langsung, tetapi melalui dialog dan lakuan. Hal ini
berbeda dengan yang terjadi dalam novel, watak tokoh cenderung disampaikan
secara langsung. Dalam drama, watak pelaku dapat diketahui dari perbuatan dan tindakan yang mereka lakukan,
dari reaksi mereka terhadap sesuatu situasi tertentu terutama situasi-situasi
yaang kritis, dari sikap mereka menghadapi suatu situasi atau peristiwa atau
watak tokoh lain (Brahim,1968:92).
Di samping itu, watak juga terlihat dari
kata-kata yang diucapkan. Dalam hal ini ada dua cara untuk mengungkapkan watak
lewat kata-kata (dialog). Yang pertama, dari kata-kata yang diucapkan sendiri
oleh pelaku dalam percakapannya dengan pelaku lain. Kedua, melalui kata-kata
yang diucapkan pelaku lain mengenai diri pelaku tertentu (Brahim, 1968:91).
Sama seperti yang ada dalam
teori fiksi, tokoh dalam drama juga perlu dipahami secara tiga dimensi, yaitu dimensi
fisiologis, sosiologis, dan psikologis. Dimensi fisiologis meliputi usia, jenis
kelamin, keadaan tubuh, dan ciri-ciri muka, dan sebagainya. Dimensi sosiologis
meliputi status sosial, pekerjaan, jabatan,perana di dalam maaasyarakat,
pendidikan, agama, pandangan hidup, ideologi, aktivitas sosial, organisasi,
hoby, bangsa, suku, dan keturunan. Dimensi psikologis meliputi mentalitas,
ukuran moral, keinginan dan perasaan pribadi, sikap dan kelakuan (temperamen),
juga intelektualitasnya (IQ).
3. Dialog
Ciri
khas suatu drama adalah naskah atau teks yang berbentuk cakapan atau dialog.
Ragam bahasa dalam dialog tokoh-tokoh
drama adalah bahasa lisan yang komunikatif, karena dialog itulah yang
akan diucapkan di pentas. Dialog dalam drama mencerminkan kegiatan pembicaraan
sehari-hari. Hal itu bisa dilihat dari pilihan kata, panjang dan pendek
kalimat, dan bentuk kalimat berupa kalimat langsung, dan panjang pendeknya
kalimat dapat berpengaruh pada irama drama (Waluyo, 2011:21). Dialog dalam drama juga harus hidup.
Dialog tersebut juga harus mewakili kondisi kejiwaan atau watak tokoh.
Perhatikan contoh dialog berikut ini:
Petugas I : Sipir, sini kuncinya.
Sipir : Ini, Pak.
Petugas I : Awas, kalau sampai pintu itu terbuka olehku,
bukan Cuma pencopet itu yang meringkuk
di situ, tetapi kamu juga.
Sipir : Tidak bisa kan Pak?
Petugas I : Bener kuncinya ini?
Sipir : Bener, itu kuncinya Pak. Dari
dulu sudah saya jadikan satu gitu kok. Dan nomernya 12. Pas kan, kunci itu juga
no. 12. tapi ...
Napi : Kunci yang macam manapun tidak
akan bisa membuka pintu itu.
Petugas I : Hei! Maksud kamu apa?
Petugas II : Menghina ya?
Petugas I : Sebentar (kepada petugas I)
Hei, begejil maksud kamu apa? Menghina
kami.
(Napi, karya Hajad Sarwoko)
Dalam drama ada dua macam cakapan, yaitu dialog dan monolog. Disebut dialog
ketika ada dua orang atau lebih tokoh bercakap-cakap. Disebut monolog ketika
seorang tokoh bercakap-cakap dengan dirinya sendiri. Selanjutnya, monolog dapat
dibedakan lagi menjadi tiga macam, yaitu monolog yang membicarakan hal-hal yang
sudah lampau, soliloqui yang
membicarakan hal-hal yang akan datang, daan aside (sampingan) untuk menyebut
percakapan seorang diri yang ditujukan kepada penonton (audience) (Supartinah
& Indratmo,1991). Dialog dan monolog merupakan bagian penting dalam drama,
karena hampir sebagian besar teks drama didominasi oleh dialog dan monolog.
Itulah yang membedakan teks drama dengan novel dan puisi.
4. Latar atau Tempat Kejadian
Latar
atau seting yaitu tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang
diceritakan. Latar atau setting dapat menjadi pijakan agar cerita dapat hadir
secara konkrit dan jelas. Latar dapat membantu pembaca atau penonton mengenal
dan memahami di mana dan kapan peristiwa dalam cerita itu terjadi
(Nurgiyantoro, 2001).
Dalam
drama, latar tempat tidak berdiri sendiri, tetapi berhubungan dengan waktu dan
ruang. Sebagai contoh, tempat di Jakarta, tahun berapa, di luar atau di dalam
rumah. Keterkaitan itulah yang membantu penonton atau pembaca untuk dapat
membayangkan tempat kejadian secara nyata.
5. Tema Cerita
Tema
merupakan pokok pikiran dalam sebuah keseluruhan wacana. Dalam sastra, tema
merupakan makna yang dikandung dalam sebuah cerita. Namun, dalam sebuah cerita
terdapat banyak sub-sub tema yang menjadi bagian dari tema umum (besar).
Sebagai contoh, pada novel Salah Asuhan, terdapat beberapa subtema,
seperti (1) masalah kawin paksa, (2) masalah penolakan ”payung” (kebangsaan)
sendiri dan menganggap menjadi warga
asing lebih memiliki prestesi, dan (4) kesalahan mendidik yang berakibat fatal.
Dari keempat tema tersebut dilakukan penelusuran kembali berdasarkan kriteria
makna utama secara keseluruhan. Dengan demikian, tema dapat dipandang sebagai
dasar cerita, gagasan dasar umum sebuah novel (Nurgiyantoro, 2000:67).
Tema
merupakan rumusan intisari cerita sebagai landasan idiil dalam menentukan arah
tujuan cerita (Harymawan, 1988:24).
Sementara itu, amanat pada dasarnya
merupakan pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau penonton.
Dalam hal ini, tema dan amanat dapat ditetntukan setelah kita memahami
keseluruhan unsur drama.
Dalam upaya menemukan dan menafsirkan
tema, terdapat sejumlah kriteria, yang sifatnya tentatif, yang dapat dipakai
sebagai pegangan. Pertama, penafsiran itu hendaknya mempertimbangkan
tiap detil cerita yang tampak ditonjolkan (foregrounded). Kriteria ini
merupakan kriteria utama. Jadi, tugas pertama yang harus dilakukan oleh pembaca
dalam rangka mengenali tema ialah menentukan atau menemukan pengedepanan atau
tonjolan itu. Melalui detil-detil yang ditonjolkan itu pada umumnya sesuatu
yang ingin disampaikan pegarang diekspresikan. Kedua, penafsiran tema
hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detil ceritera. Drama,
sebagai salah satu jenis kaarya sastra, pada hakikatnya merupakan sebuah sarana
yang dipakai pengarang untuk mengungkapkan keyakinan, kebenaran, gagasan,
sikap, dan pandangan hidupnya. Ketiga,
penafsiran tema haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara
langsung ada atau yang diisyaratkan dalam ceritera. Penunjukkan tema sebuah
ceritera haruslah dapat dibuktikan melalui data-data atau detil-detil ceritera
yang terdapat dalam karya itu secara keseluruhan, baik yang berupa bukti
langsung maupun yang tidak langsung. Yang pertama, misalnya, berupa kata-kata
yang ditemukan di dalam karya, sedangkan yang kedua berupa penafsiran terhadap
kata-kata itu. Dalam sebuah drama kadang-kadang dapat ditemui adanya data-data
tertentu, misalnya yang berupa kata-kata, kalimat, alinea, atau dialog-dialog
yang dapat dipandang sebagai bentuk yang mencerminkan tema pokok karya yang
bersangkutan (Sayuti, 2003).
6. Pesan atau Amanat
Karya
sastra yang di dalamnya mengandung tema, sesungguhnya merupakan suatu penafsiran atau pemikiran tentang
kehidupan. Permasalahan yang terkandung di dalam tema atau topik cerita
adakalnya diselesaikan secara positif (happy ending), ada kalanya secara
negatif. Di dalam Sitti Nurbaya, yang bertemakan adat, misalnya kedua
belah pihak yang bertentangan meninggal dunia. Tidak sedikit cerita rekaan yang
membiarkan masalah ”menggantung” tanpa penyelesaian; cerita berakhir tetapi
masalah tak terpecahkan seperti di dalam Belenggu.
Dari
sebuah karya sastra ada kalanya dapat diangkat suatu ajaran moral atay pesan
yang ingin disampaikan oleh pengarang, itulah yang disebut amanat. Jika
permasalahan yang diajukan dalam cerita juga diberi jalan keluarnya oleh
pengarang, maka jalan keluar itulah yang disebut amanat. Amanat terdapat pada
sebuah karya sastra dapat disampaikan secara eksplisit maupun implisit.
7. Peristiwa
Peristiwa atau kejadian merupakan salah
satu unsur drama. Dengan kata lain, apa yang ditulis dan dipentaskan dalam
drama pada hakikatnya adalah rangkaian peristiwa. Rangkaian peristiwa itulah
yang kemudian dikenal dengan istilah adegan. Peristiwa itu sendiri dapat berupa
tindakan atau aksi (actions) dan kejadian (happening). Peristiwa
yang berupa aksi (action) yakni peristiwa yang berupa tindakan manusia
baik verbal mupun nonverbal. Sementara itu, peristiwa yang berupa kejadian (happening)
adalah peristiwa yang bukan merupakan hasil tindakan dan tingkah laku manusia,
misalnya peristiwa alam (Nurgiyantoto, 2000:26).
Dalam memahami peristiwa di dalam drama
harus disadari sepenuhnya bahwa peristiwa itu tidak terjadi begitu saja, secara
tiba-tiba atau serta merta. Setiap peristiwa yang berlaku atau terjadi selalu
mempunyai hubungan sebab akibat. Sesuatu peristiwa akan terjadi jika disebabkan
oleh sesuatu hal atau hal yang menjadi alasan mengapa peristiwa itu terjadi. Di
samping itu, setiap peristiwa yang
berlaku akan menimbulkan akibat tertentu yang mungkin saja berupa munculnya
peristiwa-peristiwa baru.
Peristiwa dalam drama terjadi karena
didukung oleh tokoh, yakni apa yang dilakukan tokoh itu. Oleh sebab itu, untuk
memahami peristiwa dalam drama adalah dengan memperhatikan tindakan-tindakan
dan perbuatan para tokoh. Selanjutnya, sebagaimana dipahami, tokoh itu sendiri
dapat dianalogikan dengan keberadaan manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, tindakan atau perilaku apa yang dilakukan oleh tokoh tentu
saja terjadi pada suatu tempat tertentu dan waktu tertentu. Pendek kata, sebuah
peristiwa pasti berhubungan dengan tiga unsur, yaitu pelaku (yang melakukan dan
mengalami peristiwa), tempat (dimana peristiwa itu terjadinya), dan waktu
(kapan peristiwa itu terjadi) (Hasanudin, 1996:85-87).
8. Petunjuk Teknis atau Teks Samping
Dalam
naskah drama diperlukan petunjuk teknis atau yang sering disebut teks samping.
Teks samping berisi petunjuk teknis tentang tokoh dan tindakannya, waktu,
suasana pentas, suara, musik, keluar masuknya aktor, deskripsi tempat. Teks
samping biasanya ditulis berbeda dengan teks dialog, misalnya: ditulis miring,
ditulis dalam kurung, dicetak tebal, atau ditulis dalam huruf kapital semua.
Perhatikan penggalan teks drama berikut.
Jaksa. Pada tanggal sekian, bulan sekian,
tahun sekian, hari ini, di tempat anu, pemuda, Muhammad ali telah membunuh
seorang wanita dengan keji. Maka, atas nama keadilan kami tuntut agar pemuda
ini dihukum lima belas tahun atau dua puluh tahun. Itulah tuntutan kami.
Hakim : Betul Saudara melakukan itu?
Pemuda : Tidak
Hakim : Apakah
Saudara punya bukti-bukti?
Jaksa : Beberapa orang saksi.
Hakim : Mereka mau disumpah
Lima orang perempuan muncul dengan segala
potongannya
....................................... .......................................
.......................................
(Dikutip dari DOR karya Putu Wijaya)
Teks
samping berguna bagi aktor
dan sutradara kepentingan persiapan pementasan. Petunjuk teknis yang lengkap
akan mempermudah sutradara dalam menafsirkan naskah. Petunjuk tentang watak,
usia, keadaan social tokoh, dan tempat kejadian, dapat mempermudah sutradara
untuk menentukan pemain dan mempersiapkan perlengkapan pementasan.
Drs. H. Erawan Aidid, M.Pd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar