TERSISIHNYA
BAHASA INDONESIA
DARI NEGERI
INDONESIA
Bahasa Indonesia itu sulit
dan menyulitkan, penyebabnya adalah karena bahasa Indonesia itu mudah. Dalam
konteks blogosfer saya persempit ke dalam penggunaan bahasa Indonesia dalam
tulisan saja, sebab menulis adalah sarana dengan upaya yang lebih murah dibandingkan
dengan merekam ucapan kita dalam bentuk podcast
atau videoblog.
Dalam pikiran saya sendiri termasuk ekspresi yang tertuang dalam
tulisan-tulisan blog ini, saya berusaha menulis dengan bahasa Indonesia yang
benar. Tentunya selalu disertai dengan kesalahan ejaan, tanda baca atau
struktur kalimat. Setidaknya upaya mengacuhkan aturan tetap lebih baik daripada
asal tulis yang berprinsip pada kebebasan berbicara. Kebebasan bukanlah lepas
dari aturan, etika atau common-sense,
apalagi kebebasan berbicara yang sering membuat orang lupa pada kebebasan yang
jauh lebih hakiki, yaitu kebebasan berpikir. “Haree
genee masih pake rington monoponik?” adalah ekspresi kebebasan
berbicara, namun anda akan menemukan makna lain saat mendengar, “Haree genee masih ngomong haree
genee?” Ada unsur penyanggahan pemikiran yang kontra positif meski
tidak dalam tatanan bahasa Indonesia itu sendiri.
Bahasa Indonesia itu mudah
Kita mempelajari dan menggunakan bahasa Indonesia setidaknya dalam
rentang pendidikan formal, bahkan sampai ke tingkat pertama universitas. Sebuah
rentang yang panjang untuk memahami sebuah ilmu bahasa di mana bahasa Indonesia
adalah bahasa nasional. Saya asumsikan mereka yang mendapatkan pendidikan
formal mampu berbahasa Indonesia dengan mengabaikan faktor benar-salah dan
baik-buruk. Dengan asumsi tersebut saya simpulkan bahasa Indonesia itu mudah.
Namun ternyata tidak sedikit juga yang mengatakan bahasa Indonesia
itu sulit. Kemungkinan karena faktor mudahnya itu menjadikan paradigma mudah
dikacaukan atau mudah dibuat slengean,
sehingga muncul kesulitan saat harus menulis yang benar, apalagi yang baik.
Seiring kita belajar bahasa Indonesia yang benar, di luar sekolah
kita berhadapan dengan media yang mempunyai pengaruh kuat kepada masyarakat
dalam berbahasa. Dahulu di sekitar tahun 1980-an jika kita mendengar radio,
menonton TV dan membaca koran kita menemukan kualitas bahasa yang jauh lebih
baik daripada saat ini. Kini malah sebaliknya, media memasyarakatkan ekspresi slengean, menulis berita
formal dengan gaya slengean
juga, bahkan ditambah dengan penulisan tanda baca yang berantakan.
Paradigma “yang penting yang baca ngerti” sering dijadikan alasan
untuk kemudahan sebaran informasi. Namun di sisi lain upaya tersebut tidak
mencerahkan dan mencerdaskan. Kadang saya sendiri mendapat komentar di blog ini
mengenai bahasa yang saya tulis sulit dimengerti, namun prinsip saya tetap,
yaitu menulis dengan kaidah yang benar, berupaya benar. Saya biarkan kuantitas
sebaran informasi berkurang, namun saya mendapat respon dari mereka yang
tercerahkan, terlebih yang tercerdaskan. Itu sudah cukup, sebab aliran
informasi di dunia internet dan blogosfer sudah tidak perlu saya upayakan lagi,
terjadi dengan sendirinya.
Rintangan Mental
Kita sudah memasuki dunia dan budaya global. Selain arus
informasi, sisa-sisa budaya dunia industri tetap melekat, termasuk kerancuan
budaya instan terhadap budaya efektivitas dan efisiensi. Jika tidak instan
berarti tidak keren. Banyak yang berpendapat kalimat bahasa Indonesia terlalu
panjang untuk ekspresi yang sama dalam Bahasa Inggris. Banyak kosakata asing
diserap dengan lafal dan ejaan yang sesuai. Kita tak perlu merasa hipokrit atau
munafik menuliskan kosakata tersebut sebab bahasa Indonesia tidak punya
kosakata asli yang bermakna hipokrit dalam Bahasa Inggris atau munafik dalam
Bahasa Arab.
Jika anda berpikir sepakat dengan Hericz bahwa Bahasa Indonesia
itu nggak cool apakah anda memang cool
saat berbahasa Inggris? Menyampaikan kecerdasan berpikir terkadang
diekspresikan dalam bentuk paradoks atau hipokritikal.
Selain kesulitan menulis juga kita sering dihantui kewaswasan
pembaca tidak akan mengerti, sehingga yang keluar adalah kalimat-kalimat yang
berprinsip “yang penting yang baca ngerti”. Prinsip ini akhirnya diterapkan
dalam kondisi apapun, menjadi asumsi yang berlebihan. Jeleknya malah
menghilangkan impresi terhadap apa yang kita tulis dan berlindung di balik
alasan, “Makanya gaul dong, masa segitu aja gak ngerti? Nggak asik lu, ah!”
Makna Asosiatif
Terkadang saya heran terhadap makna asosiatif sehingga arti atau
makna sebenarnya dilupakan orang. Kosakata seperti lokalisasi, gairah, atau
merangsang cenderung membuat orang berpikir mesum meskipun dalam konteks yang
jauh dari kemesuman. Blog ini saya pasang dengan lokalisasi bahasa Indonesia untuk
merangsang penggunaan bahasa Indonesia dalam aplikasi blog agar lebih
bergairah. Apakah anda terangsang dan lebih bergairah melihat lokalisasi
antarmuka blog ini?
Orang cenderung menghindari penggunaan kosakata seperti di atas
karena kewaswasan berlebihan disalahartikan pembaca, padahal dengan kalimat
yang sama dan dengan penggantian kosakata lain tidaklah akan mengubah arti
kalimat itu sendiri.
Bentukan Waktu
Saat pendapat dikemukakan mengenai bahasa Indonesia tidak mengenal
bentukan kata terhadap waktu maka pendapat tersebut pastilah disampaikan oleh
kecerdasan seseorang yang mempunyai kemampuan bahasa lain, terutama Bahasa
Inggris. Pendapat tersebut sering berakhir dalam kesimpulan bahwa bahasa
Indonesia itu jelek. Mungkin menurut orang Prancis bahasa Indonesia itu jelek
karena tidak mengenal gender untuk setiap kata bendanya. Mungkin menurut orang
Arab bahasa Indonesia itu jelek karena tidak mengenal kata ganti tunggal, dua
dan jamak. Mungkin juga menurut orang Cina bahasa Indonesia itu jelek karena hanya
bisa dituliskan dengan satu bentuk saja, tidak seperti kata pedang yang bisa
dituliskan puluhan bentuk dalam tulisan Cina.
Ketika orang berpikir sulitnya mengekspresikan sesuatu dalam
bahasa Indonesia maka pikiran pertama yang datang adalah bahasa Indonesia itu
sulit, dan menyulitkan. Namun di sisi lain orang lupa, sulitnya berbahasa
Indonesia bisa jadi adalah ketidakmampuan berbahasa Indonesia meski setiap hari
menggunakannya, bahkan telah diajari dan dipelajari belasan tahun di pendidikan
formal.
Dari semua yang telah saya sampaikan di atas tentunya masih banyak
faktor lain yang berpengaruh. Satu hal lain yang masih mengganjal bagi saya
pribadi adalah tidak adanya Pusat Bahasa menyediakan situs panduan berbahasa,
menyediakan kamus bahasa Indonesia online,
menyediakan sarana online
untuk menerima masukan serapan kosakata, menerbitkan kosakata baru secara
resmi, dan banyak lagi. Kadang saya berpikir apakah Pusat Bahasa tertinggal di landasan di
era globalisasi ini?
Apakah alasan penggunaan bahasa gaul sebagai bahasa komunitas
dapat melanggengkan alasan pemusnahan bahasa Indonesia? Bukankan Bangsa
Indonesia lebih besar daripada harga sebuah komunitas.
Penyunting,
H. Erawan Aidid, M.Pd
Tidak ada komentar:
Posting Komentar