Konfigurasi

SELAMAT DATANG DI ERAWAN AIDID BLOGSPOT HP 085645119900

Jumat, 07 September 2012

Tersisihnya Bahasa Indonesia



TERSISIHNYA BAHASA INDONESIA
DARI NEGERI INDONESIA

Bahasa Indonesia itu sulit dan menyulitkan, penyebabnya adalah karena bahasa Indonesia itu mudah. Dalam konteks blogosfer saya persempit ke dalam penggunaan bahasa Indonesia dalam tulisan saja, sebab menulis adalah sarana dengan upaya yang lebih murah dibandingkan dengan merekam ucapan kita dalam bentuk podcast atau videoblog.



 

Dalam pikiran saya sendiri termasuk ekspresi yang tertuang dalam tulisan-tulisan blog ini, saya berusaha menulis dengan bahasa Indonesia yang benar. Tentunya selalu disertai dengan kesalahan ejaan, tanda baca atau struktur kalimat. Setidaknya upaya mengacuhkan aturan tetap lebih baik daripada asal tulis yang berprinsip pada kebebasan berbicara. Kebebasan bukanlah lepas dari aturan, etika atau common-sense, apalagi kebebasan berbicara yang sering membuat orang lupa pada kebebasan yang jauh lebih hakiki, yaitu kebebasan berpikir. “Haree genee masih pake rington monoponik?” adalah ekspresi kebebasan berbicara, namun anda akan menemukan makna lain saat mendengar, “Haree genee masih ngomong haree genee?” Ada unsur penyanggahan pemikiran yang kontra positif meski tidak dalam tatanan bahasa Indonesia itu sendiri.
Bahasa Indonesia itu mudah
Kita mempelajari dan menggunakan bahasa Indonesia setidaknya dalam rentang pendidikan formal, bahkan sampai ke tingkat pertama universitas. Sebuah rentang yang panjang untuk memahami sebuah ilmu bahasa di mana bahasa Indonesia adalah bahasa nasional. Saya asumsikan mereka yang mendapatkan pendidikan formal mampu berbahasa Indonesia dengan mengabaikan faktor benar-salah dan baik-buruk. Dengan asumsi tersebut saya simpulkan bahasa Indonesia itu mudah.
Namun ternyata tidak sedikit juga yang mengatakan bahasa Indonesia itu sulit. Kemungkinan karena faktor mudahnya itu menjadikan paradigma mudah dikacaukan atau mudah dibuat slengean, sehingga muncul kesulitan saat harus menulis yang benar, apalagi yang baik.
Seiring kita belajar bahasa Indonesia yang benar, di luar sekolah kita berhadapan dengan media yang mempunyai pengaruh kuat kepada masyarakat dalam berbahasa. Dahulu di sekitar tahun 1980-an jika kita mendengar radio, menonton TV dan membaca koran kita menemukan kualitas bahasa yang jauh lebih baik daripada saat ini. Kini malah sebaliknya, media memasyarakatkan ekspresi slengean, menulis berita formal dengan gaya slengean juga, bahkan ditambah dengan penulisan tanda baca yang berantakan.
Paradigma “yang penting yang baca ngerti” sering dijadikan alasan untuk kemudahan sebaran informasi. Namun di sisi lain upaya tersebut tidak mencerahkan dan mencerdaskan. Kadang saya sendiri mendapat komentar di blog ini mengenai bahasa yang saya tulis sulit dimengerti, namun prinsip saya tetap, yaitu menulis dengan kaidah yang benar, berupaya benar. Saya biarkan kuantitas sebaran informasi berkurang, namun saya mendapat respon dari mereka yang tercerahkan, terlebih yang tercerdaskan. Itu sudah cukup, sebab aliran informasi di dunia internet dan blogosfer sudah tidak perlu saya upayakan lagi, terjadi dengan sendirinya.
Rintangan Mental
Kita sudah memasuki dunia dan budaya global. Selain arus informasi, sisa-sisa budaya dunia industri tetap melekat, termasuk kerancuan budaya instan terhadap budaya efektivitas dan efisiensi. Jika tidak instan berarti tidak keren. Banyak yang berpendapat kalimat bahasa Indonesia terlalu panjang untuk ekspresi yang sama dalam Bahasa Inggris. Banyak kosakata asing diserap dengan lafal dan ejaan yang sesuai. Kita tak perlu merasa hipokrit atau munafik menuliskan kosakata tersebut sebab bahasa Indonesia tidak punya kosakata asli yang bermakna hipokrit dalam Bahasa Inggris atau munafik dalam Bahasa Arab.
Jika anda berpikir sepakat dengan Hericz bahwa Bahasa Indonesia itu nggak cool apakah anda memang cool saat berbahasa Inggris? Menyampaikan kecerdasan berpikir terkadang diekspresikan dalam bentuk paradoks atau hipokritikal.
Selain kesulitan menulis juga kita sering dihantui kewaswasan pembaca tidak akan mengerti, sehingga yang keluar adalah kalimat-kalimat yang berprinsip “yang penting yang baca ngerti”. Prinsip ini akhirnya diterapkan dalam kondisi apapun, menjadi asumsi yang berlebihan. Jeleknya malah menghilangkan impresi terhadap apa yang kita tulis dan berlindung di balik alasan, “Makanya gaul dong, masa segitu aja gak ngerti? Nggak asik lu, ah!”
Makna Asosiatif
Terkadang saya heran terhadap makna asosiatif sehingga arti atau makna sebenarnya dilupakan orang. Kosakata seperti lokalisasi, gairah, atau merangsang cenderung membuat orang berpikir mesum meskipun dalam konteks yang jauh dari kemesuman. Blog ini saya pasang dengan lokalisasi bahasa Indonesia untuk merangsang penggunaan bahasa Indonesia dalam aplikasi blog agar lebih bergairah. Apakah anda terangsang dan lebih bergairah melihat lokalisasi antarmuka blog ini?
Orang cenderung menghindari penggunaan kosakata seperti di atas karena kewaswasan berlebihan disalahartikan pembaca, padahal dengan kalimat yang sama dan dengan penggantian kosakata lain tidaklah akan mengubah arti kalimat itu sendiri.
Bentukan Waktu
Saat pendapat dikemukakan mengenai bahasa Indonesia tidak mengenal bentukan kata terhadap waktu maka pendapat tersebut pastilah disampaikan oleh kecerdasan seseorang yang mempunyai kemampuan bahasa lain, terutama Bahasa Inggris. Pendapat tersebut sering berakhir dalam kesimpulan bahwa bahasa Indonesia itu jelek. Mungkin menurut orang Prancis bahasa Indonesia itu jelek karena tidak mengenal gender untuk setiap kata bendanya. Mungkin menurut orang Arab bahasa Indonesia itu jelek karena tidak mengenal kata ganti tunggal, dua dan jamak. Mungkin juga menurut orang Cina bahasa Indonesia itu jelek karena hanya bisa dituliskan dengan satu bentuk saja, tidak seperti kata pedang yang bisa dituliskan puluhan bentuk dalam tulisan Cina.
Ketika orang berpikir sulitnya mengekspresikan sesuatu dalam bahasa Indonesia maka pikiran pertama yang datang adalah bahasa Indonesia itu sulit, dan menyulitkan. Namun di sisi lain orang lupa, sulitnya berbahasa Indonesia bisa jadi adalah ketidakmampuan berbahasa Indonesia meski setiap hari menggunakannya, bahkan telah diajari dan dipelajari belasan tahun di pendidikan formal.
Dari semua yang telah saya sampaikan di atas tentunya masih banyak faktor lain yang berpengaruh. Satu hal lain yang masih mengganjal bagi saya pribadi adalah tidak adanya Pusat Bahasa menyediakan situs panduan berbahasa, menyediakan kamus bahasa Indonesia online, menyediakan sarana online untuk menerima masukan serapan kosakata, menerbitkan kosakata baru secara resmi, dan banyak lagi. Kadang saya berpikir apakah Pusat Bahasa tertinggal di landasan di era globalisasi ini?
Apakah alasan penggunaan bahasa gaul sebagai bahasa komunitas dapat melanggengkan alasan pemusnahan bahasa Indonesia? Bukankan Bangsa Indonesia lebih besar daripada harga sebuah komunitas.
                                                                                    Penyunting,



                                                                                                         H. Erawan Aidid, M.Pd

Tidak ada komentar:

Posting Komentar