Konfigurasi
SELAMAT DATANG DI ERAWAN AIDID BLOGSPOT HP 085645119900
Ilmu Sastra
ILMU SASTRA
Oleh : Drs. H. Erawan Aidid, M.Pd.
Teori-Teori Sastra
Teori Psikoanalisis Sastra
Teori sastra psikoanalisis menganggap bahwa
karya sastra sebagai symptom (gejala) dari pengarangnya. Dalam pasien histeria
gejalanya muncul dalam bentuk gangguan-gangguan fisik, sedangkan dalam diri
sastrawan gejalanya muncul dalam bentuk karya kreatif. Oleh karena itu, dengan
anggapan semacam ini, tokoh-tokoh dalam sebuah novel, misalnya akan
diperlakukan seperti manusia yang hidup di dalam lamunan si pengarang.
Konflik-konflik kejiwaan yang dialami tokoh-tokoh itu dapat dipandang sebagai
pencerminan atau representasi dari konflik kejiwaan pengarangnya sendiri. Akan
tetapi harus diingat, bahwa pencerminan ini berlangsung secara tanpa disadari
oleh si pengarang novel itu sendiri dan sering kali dalam bentuk yang sudah
terdistorsi, seperti halnya yang terjadi dengan mimpi. Dengan kata lain,
ketaksadaran pengarang bekerja melalui aktivitas penciptaan novelnya. Jadi,
karya sastra sebenarnya merupakan pemenuhan secara tersembunyi atas hasrat
pengarangnya yang terkekang (terepresi) dalam ketaksadaran.
Teori Sastra Struktural
Studi (kajian) sastra struktural tidak
memperlakukan sebuah karya sastra tertentu sebagai objek kajiannya. Yang
menjadi objek kajiannya adalah sistem sastra, yaitu seperangkat konvensi yang
abstrak dan umum yang mengatur hubungan berbagai unsur dalam teks sastra
sehingga unsur-unsur tersebut berkaitan satu sama lain dalam keseluruhan yang
utuh. Meskipun konvensi yang membentuk sistem sastra itu bersifat sosial dan
ada dalam kesadaran masyarakat tertentu, namun studi sastra struktural
beranggapan bahwa konvensi tersebut dapat dilacak dan dideskripsikan dari
analisis struktur teks sastra itu sendiri secara otonom, terpisah dari
pengarang ataupun realitas sosial. Analisis yang seksama dan menyeluruh
terhadap relasi-relasi berbagai unsur yang membangun teks sastra dianggap akan
menghasilkan suatu pengetahuan tentang sistem sastra.
Teori Sastra Feminis
Teori sastra feminisme melihat karya sastra
sebagai cerminan realitas sosial patriarki. Oleh karena itu, tujuan penerapan
teori ini adalah untuk membongkar anggapan patriarkis yang tersembunyi melalui
gambaran atau citra perempuan dalam karya sastra. Dengan demikian, pembaca atau
peneliti akan membaca teks sastra dengan kesadaran bahwa dirinya adalah
perempuan yang tertindas oleh sistem sosial patriarki sehingga dia akan jeli
melihat bagaimana teks sastra yang dibacanya itu menyembunyikan dan memihak
pandangan patriarkis. Di samping itu, studi sastra dengan pendekatan feminis
tidak terbatas hanya pada upaya membongkar anggapan-anggapan patriarki yang
terkandung dalam cara penggambaran perempuan melalui teks sastra, tetapi
berkembang untuk mengkaji sastra perempuan secara khusus, yakni karya sastra
yang dibuat oleh kaum perempuan, yang disebut pula dengan istilah ginokritik.
Di sini yang diupayakan adalah penelitian tentang kekhasan karya sastra yang
dibuat kaum perempuan, baik gaya,
tema, jenis, maupun struktur karya sastra kaum perempuan. Para
sastrawan perempuan juga diteliti secara khusus, misalnya proses kreatifnya,
biografinya, dan perkembangan profesi sastrawan perempuan.
Penelitian-penelitian semacam ini kemudian diarahkan untuk membangun suatu
pengetahuan tentang sejarah sastra dan sistem sastra kaum perempuan.
Teori Sastra Struktural
Teori resepsi pembaca berusaha mengkaji
hubungan karya sastra dengan resepsi (penerimaan) pembaca. Dalam pandangan
teori ini, makna sebuah karya sastra tidak dapat dipahami melalui teks sastra
itu sendiri, melainkan hanya dapat dipahami dalam konteks pemberian makna yang
dilakukan oleh pembaca. Dengan kata lain, makna karya sastra hanya dapat
dipahami dengan melihat dampaknya terhadap pembaca. Karya sastra sebagai dampak
yang terjadi pada pembaca inilah yang terkandung dalam pengertian konkretisasi,
yaitu pemaknaan yang diberikan oleh pembaca terhadap teks sastra dengan cara
melengkapi teks itu dengan pikirannya sendiri. Tentu saja pembaca tidak dapat
melakukan konkretisasi sebebas yang dia kira karena sebenarnya konkretisasi
yang dia lakukan tetap berada dalam batas horizon harapannya, yaitu seperangkat
anggapan bersama tentang sastra yang dimiliki oleh generasi pembaca tertentu.
Horizon harapan pembaca itu ditentukan oleh tiga hal, yaitu
1. Kaidah-kaidah yang terkandung dalam teks-teks sastra itu sendiri,
2. Pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan berbagai teks sastra, dan
3. Kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata.
Butir ketiga ini ditentukan pula oleh sifat
indeterminasi teks sastra, yaitu kesenjangan yang dimiliki teks sastra terhadap
kehidupan real.
Teori resepsi sastra beranggapan bahwa
pemahaman kita tentang sastra akan lebih kaya jika kita meletakkan karya itu
dalam konteks keragaman horizon harapan yang dibentuk dan dibentuk kembali dari
zaman ke zaman oleh berbagai generasi pembaca. Dengan begitu, dalam pemahaman
kita terhadap suatu karya sastra terkandung dialog antara horizon harapan masa
kini dan masa lalu. Jadi, ketika kita membaca suatu teks sastra, kita tidak
hanya belajar tentang apa yang dikatakan teks itu, tetapi yang lebih penting
kita juga belajar tentang apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri,
harapan-harapan kita, dan bagaimana pikiran kita berbeda dengan pikiran
generasi lain sebelum kita. Semua ini terkandung dalam horizon harapan kita.
Aliran Sastra
Supernaturalisme
dan Naturalisme serta Idealisme dan Materialisme
Istilah-istilah naturalis, materialis, dan
idealis, adalah istilah-istilah yang digunakan di kalangan ilmu filsafat
sebagai suatu paham, pandangan, atau falsafah hidup yang akhirnya di kalangan
ilmu sastra merupakan aliran yang dianut seseorang dalam menghasilkan karyanya.
Aliran dalam karya sastra biasanya terlihat pada periode tertentu. Setiap
periode sastra biasanya ditandai oleh aliran yang dianut para pengarang pada
masa itu. Bahkan unsur aliran yang menjadi
mode pada periode tertentu merupakan ciri khas karya sastra yang berada pada
masa tersebut.
Masalah aliran sebagai pokok pandangan hidup,
berangkat dari paham yang dikemukakan para filosof dalam menghadapi kehidupan
alam semesta ini. Tafsiran yang mula-mula diberikan oleh manusia terhadap alam
ini ada dua macam, yaitu supernatural dan natural. Penganut paham-paham
tersebut dinamakan supernaturalisme dan naturalisme. Paham supernatural
mengemukakan bahwa di dalam alam ini terdapat wujud-wujud yang bersifat gaib
yang bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa daripada alam nyata yang mengatur
kehidupan alam sehingga menjadi alam yang ditempati sekarang ini. Kepercayaan
animisme dan dinamisme merupakan kepercayaan yang paling tua usianya dalam
sejarah perkembangan kebudayaan manusia yang berpangkal pada paham
supernaturalisme dan masih dianut oleh beberapa masyarakat di muka bumi ini.
Sebagai lawan dari paham supernatural adalah
naturalisme yang menolak paham supernatural. Paham ini mengemukakan bahwa
gejala-gejala alam yang terlihat ini terjadi karena kekuatan yang terdapat di
dalam alam itu sendiri yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat
diketahui. Paham ini juga mengemukakan bahwa dunia sama sekali bergantung pada
materi, kebendaan, dan gerak. Kenyataan pokok dalam kehidupan dan akhir
kehidupan adalah materi, atau kebendaan.
Pada bidang seni terdapat pula kedua aliran
besar tersebut dengan karakteristik yang berbeda, yaitu aliran idealisme dan
materialisme. Idealisme adalah aliran yang menilai tinggi angan-angan (idea)
dan cita-cita (ideal) sebagai hasil perasaan daripada dunia nyata. Aliran ini
pada awalnya dikemukakan oleh Socrates (469-399 sM.) yang dilanjutkan oleh
muridnya yang bernama Plato (427-347 sM.). Dalam bidang seni rupa pelukis yang
beraliran idealisme cenderung lebih suka mewujudkan benda-benda sebaik mungkin
daripada apa adanya. Dalam ilmu kesusilaan idealisme mengandung pandangan hidup
di mana rohani mewujudkan kekuatan yang berkuasa dan menjelaskan bahwa semua
benda di dalam alam dan pengalaman adalah perwujudan pikiran, pandangan yang
nyata.
Lawan aliran idealisme adalah aliran
materialisme. Aliran ini mengemukakan bahwa dunia sama sekali bergantung pada
materi dan gerak. Ajaran ini sudah dikemukakan oleh Democrates pada abad ke-4
sM, yang mengatakan bahwa semua kejadian yang gaib, dan ajaib di alam ini
digerakkan oleh atom dan keluasan geraknya. Tidak ada kekuatan gaib yang
bersifat supernatural yang mengatur kehidupan ini.
Di dalam bidang seni, seni rupa dan seni pahat,
aliran materialisme atau naturalisme ini disebut juga dengan aliran realisme,
yaitu bentuk lukisan yang diciptakan menurut keadaan alam yang sebenarnya yang
berdasarkan atas faktor-faktor perspektif, proporsi, warna, sinar, dan
bayangan. Sedangkan di dalam seni sastra aliran materialisme atau naturalisme
ini merupakan kelanjutan dari aliran realisme.
Idealisme dan Aliran Lainnya dalam
Karya Sastra
Aliran-aliran yang terdapat di dalam karya
sastra tidak dapat di- “cap”-kan
sepenuhnya kepada seorang pengarang. Sutan Takdir Alisyahbana, misalnya dalam
karyanya ia idealis tetapi juga romantis, sehingga ia juga dikenal sebagai
seorang yang beraliran romantis-idealis.
Dalam aliran idealisme terdapat aliran
romantisme, simbolisme, ekspresionisme, mistisisme, dan surealisme. Sedangkan
yang termasuk ke dalam aliran materialisme ialah aliran realisme, naturalisme,
impresionisme, serta determinisme. Aliran lain yang berpandangan ke arah
manusia sebagai pribadi yang unik dikenal sebagai aliran eksistensialisme.
Aliran idealisme adalah aliran di dalam
filsafat yang mengemukakan bahwa dunia ide,dunia cita-cita, dunia harapan
adalah dunia utama yang dituju dalam pemikiran manusia. Dalam dunia sastra,
idealisme berarti aliran yang menggambarkan dunia yang dicita-citakan, dunia
yang diangan-angankan, dan dunia harapan yang masih abstrak yang jauh jangka
waktu pencapaiannya. Di dalamnya digambarkan keindahan hidup yang ideal, yang
menyenangkan, penuh kedamaian, kebahagiaan, ketenteraman, adil makmur dan
segala sesuatu yang menggambarkan dunia harapan yang sesuai dengan tuntutan
batin yang menyenangkan yang tidak lagi adanya keganasan, kecemasan,
kemiskinan, penindasan, ketidakadilan, keterbelakangan, yang menyusahkan dan
menyengsarakan batin. Sastrawan Indonesia
yang dikenal sebagai seorang yang idealis baik di dalam novel maupun puisinya
ialah Sutan Takdir Alisyahbana.
Aliran romantisme ini menekankan kepada
ungkapan perasaan sebagai dasar perwujudan pemikiran pengarang sehingga pembaca
tersentuh emosinya setelah membaca ungkapan perasaannya. Untuk mewujudkan
pemikirannya, pengarang menggunakan bentuk pengungkapan yang seindah-indahnya
dan sesempurna-sempurnanya. Aliran romantisme biasanya dikaitkan dengan masalah
cinta karena masalah cinta memang membangkitkan emosi. Tetapi anggapan demikian
tidaklah selamanya benar.
Simbolisme adalah aliran kesusastraan yang
penyajian tokoh-tokohnya bukan manusia melainkan binatang, atau benda-benda
lainnya seperti tumbuh-tumbuhan yang disimbolkan sebagai perilaku manusia.
Binatang-binatang atau tumbuh-tumbuhan diperlakukan sebagai manusia yang dapat
bertindak, berbicara, berkomunikasi, berpikir, berpendapat sebagaimana halnya
manusia. Kehadiran karya sastra yang beraliran simbolisme ini biasanya
ditentukan oleh situasi yang tidak mendukung pencerita atau pengarang
berbicara. Pada masyarakat lama, misalnya di mana kebebasan berbicara dibatasi
oleh aturan etika moral yang mengikat kebersamaan dalam kelompok masyarakat,
pandangan dan pendapat mereka disalurkan melalui bentuk-bentuk peribahasa atau
fabel.
Aliran ekspresionisme adalah aliran dalam
karya seni, yang mementingkan curahan batin atau curahan jiwa dan tidak
mementingkan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang nyata. Ekspresi
batin yang keras dan meledak-ledak. biasa dianggap sebagai pernyataan atau
sikap pengarang. Aliran ini mula-mula berkembang di Jerman sebelum Perang Dunia
I, Pengarang Indonesia
yang dianggap ekspresionis ialah Chairil Anwar.
Mistisisme adalah aliran dalam kesusastraan
yang mengacu pada pemikiran mistik, yaitu pemikiran yang berdasarkan
kepercayaan kepada Zat Tuhan Yang Maha Esa, yang meliputi segala hal di alam
ini. Karya sastra yang beraliran mistisisme ini memperlihatkan karya yang
mencari penyatuan diri dengan Zat Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Tuhan Semesta Alam.
Pada masa kesusastraan Klasik dikenal Raja Ali Haji dengan Gurindam Dua
Belas-nya yang sarat dengan ajaran mistik. Pada karya-karya sastra sekarang ini
yang memperlihatkan aliran mistik, misalnya Abdul Hadi W.M., Danarto, dan Rifai
Ali.
Surealisme adalah aliran di dalam
kesusastraan yang banyak melukiskan kehidupan dan pembicaraan alam bawah sadar,
alam mimpi. Segala peristiwa yang dilukiskan terjadi dalam waktu yang bersamaan
dan serentak. Aliran ini dipengaruhi oleh Sigmund Freud (1856-1939) ahli psikiatri
Austria
yang dikenal dengan psikoanalisisnya terhadap gejala histeria yang dialami
manusia. Dia berpendapat bahwa gejala histeria traumatik yang dialami seseorang
dapat disembuhkan melalui analisis kejiwaan yang dilakukan dengan kondisi
kesadaran pasien, bukan dengan cara menghipnotis sebagaimana yang dilakukan
oleh rekannya Breuer. Menurut Freud emosi yang terpendam itu bersifat seksual.
Perbuatan manusia digerakkan oleh libido, nafsu seksual yang asli. Dengan
menggali bawah sadar manusia, ia akan dapat dikembalikan kepada kondisinya
semula.
Realisme dan Aliran Lainnya dalam
Karya Sastra
Realisme adalah aliran dalam karya sastra
yang berusaha melukiskan suatu objek seperti apa adanya Pengarang berperan
secara objektif. Dalam keobjektifanlah ia melihat keindahan objek yang
dibidiknya dan dihasilkan di dalam karya sastra. Pengarang tidak memasukkan
ide, pikiran, tanggapan dalam menghadapi objeknya. Gustaf Flaubert seorang
pengarang realisme Perancis mengemukakan bahwa objektivitas pengarang sangat diperlukan
dalam menghasilkan karyanya. Objek yang dibidik pengarang sebagai objek
ceritanya tidak hanya manusia dengan beragam karakternya, ia juga dapat berupa
binatang, alam, tumbuh-tumbuhan, dan objek lainnya yang berkesan bagi pengarang
sebagai sumber inspirasinya.
Impresionisme berarti aliran dalam bidang
seni sastra, seni lukis, seni musik yang lebih mengutamakan kesan tentang suatu
objek yang diamati dari pada wujud objek itu sendiri. Di bidang seni lukis,
aliran ini bermula di Perancis pada akhir abad ke-l9.. Di dalam seni sastra
aliran impresionisme tidak berbeda dengan aliran realisme, hanya pada
impresionisme yang dipentingkan adalah kesan yang diperoleh tentang objek yang
diamati penulis. Selanjutnya, kesan awal yang diperoleh pengarang diolah dan
dideskripsikan menjadi visi pengarang yang sesuai dengan situasi dan kondisi
tertentu.
Karya sastra yang beraliran impresionisme
pada umumnya terdapat pada masa angkatan Pujangga Baru, masa Jepang, yang pada
masa itu kebebasan berekspresi tentang cita-cita, harapan, ide belum dapat
disalurkan secara terbuka. Semua idealisme disalurkan melalui bentuk yang halus
yang maknanya terselubung.
Pengarang Indonesia yang karyanya bersifat
impresif antara lain ialah Sanusi Pane, dengan puisi-puisinya Candi, Teratai, Sungai,
Abdul Hadi W.M., dan W.S Rendra.
Aliran naturalisme adalah aliran yang
mengemukakan bahwa fenomena alam yang nyata ini terjadi karena kekuatan alam
itu sendiri yang berinteraksi sesamanya. Kebenaran penciptaan alam ini
bersumber pada kekuatan alam (natura). Di dalam seni lukis aliran naturalisme
ini dimaksudkan sebagai karya seni yang menampilkan keadaan alam apa adanya,
berdasarkan faktor perspektif, proporsi sinar, dan bayangan. Di dalam karya
sastra aliran naturalisme adalah aliran yang juga menampilkan peristiwa
sebagaimana adanya. Karena itu ia tidak jauh berbeda dengan realisme. Hanya
saja, kalau realisme menampilkan objek apa adanya yang mengarah kepada kesan
positif, kesan yang menyenangkan, sedangkan naturalisme sebaliknya.
Dalam kesusastraan Barat, yang dikenal
sebagai tokoh naturalis ialah Emil Zola (1840-1902) pengarang Perancis. Dalam
karyanya gambaran kemesuman, pornografi digambarkan apa adanya. Aliran seni
untuk seni (l’art pour art’) melatarbelakangi pandangannya dalam berkarya. Di Indonesia
pengarang yang karyanya cenderung beraliran naturalisme adalah Armijn Pane
dengan novel Belenggu-nya, Motinggo Busye pada awal-awal novelnya tahun 60-an
dan 70-an bahkan memperlihatkan novel yang dikategorikan pornografis. Novel
Saman (l998) karya Ayu Utami juga memperlihatkan kecenderungan ke arah
naturalis.
Determinisme ialah aliran dalam kesusastraan
yang merupakan cabang dari naturalisme yang menekankan kepada takdir sebagai
bagian dari kehidupan manusia yang ditentukan oleh unsur biologis dan lingkungan.
Takdir yang dialami manusia bukanlah takdir yang ditentukan oleh yang Mahakuasa
melainkan takdir yang datang menimpa nasib seseorang karena faktor keturunan
dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya.
Eksistensialisme dalam Karya Sastra
Di samping aliran-aliran yang telah
dibicarakan sebelumnya, terdapat pula aliran kesusastraan yang berkembang
akhir-akhir ini, yaitu aliran eksistensialisme. Aliran ini adalah aliran di
dalam filsafat yang muncul dari rasa ketidakpuasan terhadap dikotomi aliran idealisme
dan aliran materialisme dalam memaknai kehidupan ini. Aliran idealisme yang
hanya mementingkan ide sebagai sumber kebenaran kehidupan dan materialisme yang
menganggap materi sebagai sumber kebenaran kehidupan, mengabaikan manusia
sebagai makhluk hidup yang mempunyai keberadaan sendiri yang tidak sama dengan
makhluk lainnya. Idealisme melihat manusia hanya sebagai subjek, hanya sebagai
kesadaran, sedangkan materialisme melihat manusia hanya sebagai objek.
Materialisme lupa bahwa sesuatu di dunia ini disebut objek karena adanya
subjek. Eksistensialisme ingin mencari jalan ke luar dari kedua pemikiran yang
dianggap ekstrem itu yang berpikiran bahwa manusia di samping ia sebagai subjek
ia pun juga sekaligus sebagai objek dalam kehidupan ini (Ahmad Tafsir,1994 hal
193).
Kata eksistensi berasal dari kata exist,
bahasa Latin yang diturunkan dari kata ex yang berarti ke luar dan sistere
berarti berdiri. Jadi eksistensi berarti berdiri dengan ke luar dari diri
sendiri. Pikiran seperti ini dalam bahasa Jerman dikenal dengan dasei. Dengan
ia ke luar dari dirinya, manusia menyadari keberadaan dirinya, ia berada
sebagai aku atau sebagai pribadi yang menghadapi dunia dan mengerti apa yang
dihadapinya dan bagaimana menghadapinya. Dalam menyadari keberadaannya, manusia
selalu memperbaiki, atau membangun dirinya, ia tidak pernah selesai dalam
membangun dirinya.
Filsuf yang pertama mengemukakan eksistensi
manusia ialah Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) dari Denmark,
kemudian Jean Paul Satre (1905-1980) filsuf Perancis yang menyebabkan
eksistensialisme menjadi terkenal. Menurut Satre karena manusia menyadari bahwa
dia ada, yang berarti manusia menyadari pula bahwa ia menghadapi masa depan.
Karenanya manusia sebagai individu mempunyai tanggung jawab terhadap masa depan
dirinya sendiri dan tanggung jawab terhadap manusia secara keseluruhan.
Akibatnya, orang eksistensialisme berpendapat bahwa salah satu watak keberadaan
manusia adalah rasa takut yang datang dari kesadaran tentang wujudnya di dunia
ini. Sebagai manusia yang mempunyai tanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan
terhadap manusia lainnya di dunia ini, mereka bebas menentukan, bebas
memutuskan dan sendiri pula memikul akibat keputusannya tanpa ada orang lain
atau sesuatu yang bersamanya. Dari konsepnya ini timbul pemikiran bahwa nasib
manusia ditentukan oleh dirinya sendiri dengan tidak bantuan sedikit pun dari
yang lain. Akibatnya, manusia selalu hidup dalam rasa sunyi, cemas, putus asa,
dan takut serta selalu dipenuhi bayangan harapan yang tak pernah terwujud dan
berakhir.
Karena dasar eksistensialisme ini adalah ide
tentang keberadaan manusia, maka aliran ini tidak mementingkan gaya bahasa yang khas yang mencerminkan
aliran tertentu, melainkan menekankan kepada pandangan pengarang terhadap
kehidupan dan keberadaan manusia. Dalam perkembangannya, aliran
eksistensialisme berkembang menjadi dua jalur, yaitu eksistensialisme yang
ateistis dan eksistensialisme yang theistis. Eksistensialisme yang ateistis
dikembangkan oleh Jean Paul Sartre dan eksistensialisme yang theistis
dikembangkan oleh Gabriel Marcel. Dia menyatakan dengan tegas bahwa semua
eksistensi adalah kenyataan karena adanya Tuhan. Manusia tidak mungkin ada
kalau tidak ada Tuhan yang menciptakannya, dan konkretisasi alam dunia ini
merupakan bukti nyata dari keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu,
keberadaan manusia di alam ini harus kembali ke jalan Tuhan dan mewujudkan
pujian kepada Tuhan.
Di dalam kesusastraan Indonesia,
eksistensialisme ini terlihat pada novel-novel karya Iwan Simatupang, seperti
Ziarah, Merahnya Merah, dan Kering, Dalam karyanya, Iwan Simatupang
memperlihatkan manusia sebagai tamu di dunia ini. Sebagai tamu, ia datang, dan
pergi lagi. Manusia gelisah, tidak punya rumah, selalu berada dalam perjalanan
dan berlangitkan relativisme-relativisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar